Ronald Wade adalah seorang pria gemuk berkulit hitam. Dia berasal dari Haiti, namun tinggal di Indonesia sejak sepuluh tahun yang lalu. Ronald adalah seorang kolektor fotografi yang kritikannya terkenal pedas. Aku sendiri baru mengenalnya dua bulan ini, khusus untuk membicarakan pameranku.
Ronald menyesap cappucinno hangatnya sambil terus menatap salah satu foto yang kuambil dua hari lalu.
“Ini satu-satunya foto yang layak masuk pameran. Foto ini begitu natural, tidak seperti foto-foto lain yang lebih cocok disebut sampah.” Ronald menghamburkan kata-katanya yang pedas, aku serasa menciut saat mendengarnya.
“Jadi… Kapan saya bisa membuka pameran?” Aku memberanikan diri untuk bertanya.
“Haha! Tidak secepat itu, nak! Tidak ada pameran fotografi yang hanya memajang satu foto,” katanya.
“Berikan lagi foto-foto natural seperti itu kepadaku dan jangan memberiku sampah. Aku tunggu secepatnya.” Ronald berdiri, merapikan jas hitamnya yang mahal, lalu berjalan melewati pintu kafe.
Aku menatap hasil foto terbaikku yang tergeletak di atas meja. Wajah seorang anak perempuan bertangan buntung dan seorang laki-laki bertopi abu-abu terpampang disana. Si gadis kecil berdiri di dalam gerobak tua, sedangkan laki-laki tengah menarik gerobaknya. Mereka saling bertatapan dan tersenyum, nampak seperti keluarga bahagia walaupun tanpa seorang bunda. Senyum terukir di wajahku saat melihat foto itu, seandainya aku memiliki seorang papa seperti laki-laki itu, tentu hidupku akan lebih baik. Setelah puas memandanginya, aku berdiri dan melangkahkan kaki menuju kegelapan malam yang dihiasi lampu-lampu jalan, dalam kebisuan gemuruh hujan.
Jalan Jendral Sudirman masih dipadati oleh jejeran alat-alat transportasi yang mengeluarkan bunyi memekakkan saat gumpalan mega mendung memayunginya. Alat-alat transportasi itu berjejer, merayap dan terbatuk, persis seperti barisan kura-kura. Sepasang mata sayu milik seorang gadis kecil menatap iring-iringan itu dari balik sebuah gerobak. Sorotan matanya tampak sendu, rambutnya awut-awutan, kulitnya kusam dan pakaiannya dekil, penampilan yang sangat mencerminkan kelas sosialnya. Dia tampak termangu, senyum ceria yang biasa menghiasi wajahnya kini disapu oleh gumpalan awan kelabu.
‘Jpreeet!’
Lampu blitz dari kamera Nikon-ku berkedip membelah kesunyian sore yang bertudung mendung. Aku menatap hasil jepretan yang terpampang di layar kamera, lalu tersenyum puas. Gambar sepasang bola mata sayu dibalik gerobak tua.
Tak lama kemudian, mega kelabu yang sedari tadi memayungi kota mulai menitikkan ‘air mata’nya, memaksaku berteduh ke emperan restoran yang tepat berada di belakangku. Jarum-jarum hujan yang terus berhamburan ke bumi, membuat emperan sempit bermarmer cokelat ini semakin disesaki oleh gerombolan manusia. Bau keringat dan bau sampah di selokan depan emperan bercampur menjadi satu. Terbatasnya ruang gerak membuat kadar oksigen serasa berkurang. Tiba-tiba sesuatu bergetar di saku jeans-ku, sayup-sayup lagu Telephone milik Lady Gaga terdengar. Aku merogoh jeans biruku, mengambil sebuah handphone keluaran tahun 90. Sederet nomor tidak dikenal terpampang di layarnya.
“Halo! Afik? Kamu lagi dimana?” suara berat seorang laki-laki terdengar di ujung sana. Aku membeku sesaat, gemuruh hujan serasa membisu.
“Maaf, ini siapa?” jawabku.
“Ini Papamu, Fik.” Aku mendengus jengkel mendengarnya.
“Papaku sudah meninggal sembilan tahun yang lalu,” ujarku seadanya.
“Mungkin anda salah orang dan maaf saya sedang sibuk,” sambungku lalu sesegera mungkin aku putuskan panggilan itu.
Aku tahu siapa yang menelponku barusan. Dia Om Bimo, orang yang mengaku sebagai papaku dan aku tahu bahwa dia memang mantan papaku. Ya, mantan. Dia meninggalkan aku dan Mama hanya demi seorang wanita tua yang kaya. Setelah kepergiannya, mama harus menjadi tulang punggung keluarga. Dua tahun yang lalu, mama pergi untuk selamanya sehingga aku harus tinggal bersama adik Mama, Om Dito hingga sekarang. Setelah meninggalkanku bertahun-tahun, ‘Papa’ku kembali lagi. Dia terus menerus memintaku untuk menerimanya kembali. Sayangnya aku sudah menghapus memori tentang Papa sejak lama, bahkan aku telah menganggapnya… mati.
Aku mengemudikan mobilku dengan kesal. Pagiku yang awalnya cerah dan baik-baik saja, tiba-tiba diusik oleh kedatangan tamu yang tidak diundang. Ya, siapa lagi kalau bukan Om Bimo. Dia bahkan datang bersama Tante Nela, si tante tua yang menculik papa dari mama. Lagi-lagi mantan papaku itu meminta aku tinggal bersamanya, tentu saja aku menolak. Sialnya Om Dito, yang biasanya tidak ikut mencampuri urusanku, kini mendukung Om Bimo.
“Akuilah Papamu, Fik. Kamu mau jadi anak durhaka?” Kata-kata Om Dito tadi pagi terus terngiang di telingaku. Anak durhaka katanya? Bukannya Om Bimo yang mengkhianati keluarganya duluan? Lagipula Om Bimo bukan papaku. Papaku sudah meninggal sembilan tahun lalu. Om Bimo hanya seseorang yang mengusik kehidupanku dengan berpura-pura menjadi papa. Aku mendengus kesal. Mereka semua menjengkelkan. Sangat menjengkelkan.
Aku melirik ke arah speedometer. Jarumnya menunjuk ke angka 120km/h. Sebuah perempatan menungguku di depan sana, segera saja kubelokkan mobil silverku ke arah kanan sebelum tiba-tiba aku menabrak sesuatu.
‘BRAKKK!!!’
“Sial!” sungutku. Dari kaca spion, bisa kulihat sesosok manusia bertopi tergeletak dengan posisi tengkurap. Darah dan butir-butir nasi bertebaran di sekitarnya. Tanpa berpikir dua kali, aku kembali menginjak gas mobilku. Maaf saja, aku tidak mau terlibat masalah lagi. Beruntung jalanan ini sepi, hanya ada beberapa orang di emperan toko yang segera berlari mengerumuni korban tabrak lariku. Sekali lagi maaf, bukannya aku tidak mau bertanggung jawab, tapi masalah yang membebani pundakku sudah terlalu banyak. Dalam kebisuan gemuruh hujan aku pun melaju.
Arakan awan mendung tetap menaungi kota Jakarta, sama seperti hari-hari sebelumnya. Aku melihat ke sekelilingku, berusaha mencari sosok ‘model’ku. Model bertangan buntung dengan kehidupannya yang unik. Sudah lima hari kami tidak mengadakan ‘pemotretan’. Sayangnya, hingga hujan turun modelku tidak ditemukan juga. Tidak sabar menunggu kehadirannya, aku menyeberangi jalan Jendral Sudirman yang lebar, berusaha mencari gadis bertangan buntung itu di tempat lain. Dalam heningnya gemuruh‘air mata’ awan, aku menelusuri gang-gang yang diapit oleh gedung-gedung jangkung. Setelah beberapa menit mencari, akhirnya kutemukan juga anak itu. Dia tengah memilah-milah sampah di depan sebuah restoran dengan sebelah tangan. Segera saja, aku hampiri dia.
“Hai!” sapaku. Anak itu menoleh, melihatku dengan tatapan heran.
“Saya Afik. Namamu siapa?” tanyaku seramah mungkin.
“S-sulis, Aa,” jawab gadis kecil itu, lirih. Dilihat dari bahasanya, bisa kutebak anak ini keturunan Sunda. Beruntung sedikit-sedikit aku mengerti bahasa Sunda.
“Umm… Kamu sudah makan?” tanyaku. Anak itu menggeleng takut. Aku tersenyum melihatnya, lalu menggandengnya memasuki restoran. Setelah aku memesankan makanan untuknya, anak itu segera makan dengan lahap. Sepertinya dia sangat lapar.
Aku memperhatikan anak itu selagi dia makan. Penampilannya sama seperti biasa, kotor, dekil dan lusuh, hanya saja sekarang dia tampak seperti tulang berlapis kulit.
“Tadi siang makan tidak?” tanyaku lagi. Anak itu kembali menggeleng.
“Sudah berapa hari tidak makan?”
“Atos lima poe. Saprak bapa pupus,” anak itu menjawab lirih.
“Bapak pergi kemana?”
Anak itu menjawab dengan sedih, “Bapa pupus, katabrak mobil di Jalan Ahmad Yani,” Aku tertegun. Jangan-jangan…
“Oleh siapa?” tanyaku lebih lanjut.
“Saur babaturan abdi, bapa ditabrak ku mobil perak. Jalmi nu nabrak teh kabur.” Aku semakin tertegun. Tiba-tiba gemuruh hujan di luar sana membisu untuk beberapa saat.
Hening.
“M-maaf…” kataku, setelah beberapa saat tenggelam dalam kesunyian. Aku menunduk, mataku terasa panas. Aku tahu, anak itu menatapku heran.
“Aa’ orang yang… m-maksud Aa’… bapakmu tertabrak oleh Aa’.”
“Aa’ benar-benar tidak sengaja. Maaf,” lanjutku. Aku angkat kepalaku, kulihat anak itu tengah menunduk, isakan kecil terdengar darinya.
“T-teu nanaon. Saur B-bapak, abdi teh kedah m-mandiri. Bapak sareng Umi teu resep g-gaduh b-budak nu manja.” Anak itu masih terisak. Aku menatapnya sedih. Aku tahu bagaimana rasanya tidak punya orang tua. Tapi setidaknya aku lebih beruntung, karena aku masih punya Papa, yang bodohnya tidak aku akui. Mungkin, setelah ini aku bisa menghubungi Papa dan berbicara dengannya.
“Kamu bisa tinggal bersama Aa’, jadi kamu tidak perlu menjadi pemulung lagi,” hiburku.
“T-teu kedah Aa’. Teu nanaon,” tolak anak itu.
“Tidak! Ini sebagai pertanggung jawaban Aa’. Aa’ mohon Sulis mau tinggal sama Aa’.”
Gadis kecil bertangan buntung itu menatapku ragu. Untuk beberapa saat dia diam, lalu perlahan dia mengangguk. Aku tersenyum melihatnya. Setelah dia menyelesaikan makanannya, aku menggandengnya ke luar restoran. Hatiku terasa hangat. Kini aku mendapatkan seorang adik dan sepertinya hubunganku dengan papa akan segera membaik.
Dalam heningnya gemuruh hujan yang terus menerus menghantam, handphone-ku kembali berdering. Nomor tidak terkenal kembali terpampang di layar.
Suara Tante Nela yang khas diselingi oleh sedu sedan yang lirih, “Halo? A-afik? I-ini Tante Nela.”
“Ada apa, Tante?” Aku mulai merasa tidak enak.
“P-papamu… Papamu t-tertabrak m-mobil…”
Tiba-tiba dunia membisu. Membisu dalam hujan
bagus buat novel aja kreatif yang buat artikel2 cerita ini :D
BalasHapus