Cinta, aku mau menunggu
Apakah kamu masih mencintai pria yang sudah bertahun-tahun tak meresponmu itu?
Ya, aku tidak pernah merasa bosan menunggunya, aku benar-benar terpikat olehnya.
Terkadang aku terlalu egois untuk tidak dekat dengan yang lain hanya
karena menunggu dia. Bukannya sok sempurna, hati yang kumiliki untuk dia
sempurnakan, aku ingin memperjuangkannya.
“fir, kamu ada buku paket kimia?”, tanya dimas.
“eh ada nih, sebentar ya aku ambil dulu”.
Aku yang dari tadi memakai headset hampir tidak sadar ada yang mengajakku berbicara.
“ini bukunya dim”.
“oke pinjam ya, nanti habis mata pelajarannya aku kembalikan kok”
Sambil mencubit pipi kanan ku dia langsung pergi membawa buku kimia ku.
Tak lupa pula sebelum aku meminjamkannya aku sempat memeriksa apakah ada
catatan-catatan aneh di dalam buku itu.
Dimas cowo tinggi yang memiliki kharisma, cerdas, berambut cepak,
ramah, lucu, dan dia sangat memiliki jiwa kepemimpinan. hal itu yang
membuat adik kelas tergila-gila padanya saat dia memimpin suatu kegiatan
organisasi di sekolah. Dia sosok kakak kelas yang tegas untuk urusan
kepemimpinan, bahkan dia banyak mengajarkan hal untukku.
Tak terasa sudah hampir 3 tahun penuh aku menimba ilmu di sekolah ini, tempat yang mengajarkan aku berbagai hal termasuk cinta.
Hanya tinggal hitungan bulan aku tidak akan menikmati masa-masa belajar
di sekolah ini, semua akan kutinggalkan demi melanjut ke jenjang yang
lebih tinggi yaitu kuliah.
Berbagai kenangan akan kutinggalkan, menghilang dengan jejak yang masih
bisa ku lihat. aku pasti selalu ingat tentang sekolah ini dan aku pasti
selalu ingat dia.
Tak terasa tinggal hitungan hari lagi kami akan menghadapi UAS setelah UTS berlalu 2 bulan yang lalu.
Proses belajar mengajar pun tidak lagi rutin untuk dilakukan terhadap
kelas 12 karena guru-guru cukup mengerti sehingga memberikan kami
sedikit waktu santai.
Aku duduk di depan kelas sambil menjalankan playlist ku, tiba-tiba
pandanganku berhenti pada satu cowo tinggi berjaket hitam itu, ya itu
dimas dan… sedang apa dia dengan andini? sepertinya mereka sedang bicara
serius. tadi memang aku melihat pacar nya andini adu mulut dengan
dimas. Ya mungkin mereka menyelesaikan masalah itu.
“woy! ngeliatin siapa sih kamu?”, tiba-tiba shinta mengejutkanku.
“dih bikin kaget aja, itu si dimas ada masalah apa?”
“oh itu… sedikit masalah sama pacarnya karena dia bikin pacar nya andini
cemburu padahal gak bermaksud seperti itu, salah paham saja”
“oh gitu… besok ada tanding futsal sekolah kita lawan methodist mau ikutan nonton gak?”
“oke, ketemu di sekolah ya pergi ke lapangan futsal nya bareng ajak yang lain juga”
“oke. sekarang yuk temenin aku ke kantin”
Sembari meninggalkan tempat berbincang tadi, ternyata pandanganku tak
lepas dari sosok pria berjaket hitam itu. Ya aku terlalu penasaran
dengan apa saja yang mereka bicarakan.
—
Ku lihat sosok itu, di tengah-tengah lapangan futsal pria tinggi berbadan ideal dengan nomor punggung 15, iya itu dimas.
“ayo bibi bibi bibi!!! glory-glory bibi!!!”, teriak shinta menyemangati salah satu pemain yang juga merupakan teman dekatnya.
Ketiga temannya dari pertama kali datang selalu ribut dan heboh,
sedangkan aku? dari pertama kali memasuki lapangan futsal hal utama yang
aku lakukan hanya mencari sosok tinggi itu.
Entah apa yang membuat pandanganku tak lepas dari sosoknya.
Dia memang sudah sering aku lihat tapi kali ini aku sadar ternyata aku
bukan sekedar kagum ataupun rasa simpati terhadap teman seoraganisasi.
“horeeee menang!!!”, seru anak-anak. Ya akhirnya pertandingan selesai
dan sekolah ku memasuki babak final, masih ada satu pertandingan lagi
untuk menentukan ke tiga besar.
“dari tadi kamu kenapa diam aja? dari tadi ngeliatin siapa sih?”, tiba-tiba dinda mengajakku berbicara.
“eh.. enggak kok, aku bukan ngeliatin siapa-siapa. cowo kalau main futsal ternyata keren juga ya nda”
“ya memang iya, selama ini kamu ke mana aja?”, ledek dinda.
Pertandingan selesai, alhasil semakin ramai. Bahkan untuk jumpa sama
pemain dari sekolah kami pun susah, akhirnya kita kumpul lagi di
sekolah.
Entah apa yang membuatku sering memperhatikan dimas akhir-akhir ini, aku
tak tahu aku hanya sekedar kagum atau lebih dari kagum padahal hampir
setiap hari kita ketemu.
“makasih ya udah nonton kita tadi, kalian kocak teriak-teriak seperti itu ha ha ha”, kata dimas sambil menahan tawanya.
“eh aku engga ada teriak, shinta, tari, dinda tuh yang meneriaki kamu terus” sambungnya sambil ikut tertawa juga.
“iya deh yang penting makasih banyak ya, lusa kita ada tanding lagi
untuk masuk ke final jangan lupa ya. aku menjumpai mereka dulu ya”,
katanya sambil bergegas meninggalkan kami.
Dimas keringatan, mungkin dia butuh istirahat dan mungkin dia terlalu
bosan bicara dengan aku yang hampir tiap hari selama 2 tahun lebih ini
dia ajak ngobrol.
Terkadang ngobrol sama dia itu nyaman, walaupun terkadang dia lebih
banyak mengejek dari pada bicara serius, tapi tetap aja itu tidak
menjadi penghalangku untuk berhenti mengaguminya.
Baru terasa ketika mau tamat begini aku baru menyadarinya kalau dia
memang pria yang selama ini ada di hatiku tetapi aku tidak pernah
memastikannya.
Berawal dari kegiatan organisasi sekolah yang kebetulan ketua pelaksana
nya adalah dimas, pada saat itu dia sering menitipkan handphone nya
padaku, kemudian waktu acara makan bersama sanking laparnya aku makan di
luar terus dia kesal gitu, terus aku juga merasa bersalah aku minta
maaf dia maafin terus dia pergi gitu aja padahal handphone nya masih
sama aku.
Ya bukan hanya itu aja sih, banyak lagi hal lain yang benar-benar
membuat aku jatuh cinta terhadap pria berbadan tinggi ideal itu.
Kadang, aku sulit membedakan mana ketertarikan saat dan cinta beneran. Dua hal itu seakan tak punya perbedaan.
—
Ujian akhir sekolah pun berlalu dan ujian nasional di depan mata.
Semakin hari aku semakin tidak bisa menahan perasaanku untuk tetap
berpura-pura dan menjaga sikapku didepannya. aku tidak berbakat untuk
tidak berpura-pura suka kamu.
Siang itu ketika jam istirahat aku sedang duduk-duduk di depan kelas
dengan cewe yang kabarnya pernah dia sukain, selain mereka memang dekat
layaknya kakak adik mereka juga sekelas dan dia juga merupakan kawan
dekatku sendiri.
Entah mengapa, tiba-tiba dia lewat terus nyamperin tuh cewek terus dia
ngelus-ngelus kepala tuh cewek. Aku yang diam-diam cemburu gini bisa
apa? Terus berusaha menyembunyikan pandanganku untuk gak ngeliatin
mereka alhasil aku ketangkap basah lagi ngeliat dia sinis, kemudian dia
juga melihat aku dengan pandangan kosong.
Kemudian dia tidak bicara apa-apa dengan ku, ini beda, tak biasanya seperti ini.
Aku mencoba membiasakan diri sebagaimana biasanya. tapi alhasil aku tak
bisa menahan perasaanku lagi, aku semakin canggung aku semakin yakin
kalau dia itu udah tau yang sebenarnya.
Seperti pepatah “sejauh-jauhnya tupai melompat pasti jatuh juga” nah
kalo ini, sepandai-pandai nya menyembunyikan perasaan pasti terungkap
juga.
Waktu adalah uang, semakin aku tak punya waktu untuk bercerita tentang perasaanku semakin aku akan menyesal di kemudian hari.
Dia tak pernah tahu sejauh apa perasaanku terhadapnya, dia juga tak
pernah tahu apa yang ku pendam selama 2 tahun ini berawal pertama kali
menjadi kakak kelas di kelas sebelas semua terasa menakjubkan bila di
ungkapkan, aku yang selama ini hanya teman biasa nya, teman celotehnya
tiba-tiba angin membawakan hembusan cinta mungkin dia akan merasa risih
denganku. Padahal cinta tak pernah salah.
“shin, bagaimana menurutmu jika aku mengungkapkan rasa sama orang yang selama ini tak pernah ku duga?”
“wajar-wajar saja asal ada kode etik nya ha ha ha memangnya siapa orang itu?”
“orang terdekat kita”
“siapa? apakah kamu yakin dia orangnya selama ini?”
“iya, dan bodohnya setelah hampir tamat begini aku baru menyadarnya”
“aku jadi semakin penasaran, siapa sih?”
“dimas”, tukasku dengan cepat dan singkat kemudian langsung tak kutatap lagi pandangan shinta yang penasaran itu karena malu.
“kenapa kamu bisa suka sama dia? jadi selama ini dia orang yang selalu membuatmu menunggu?”
“aku juga tak pernah menyadarinya, bahkan aku tak pernah cerita soal ini kan.”
Shinta hanya terdiam seperti ada sesuatu yang tak ingin di ungkapkannya
padaku, aku tak memaksa, aku terus bercerita tentang apa yang terjadi
selama dua tahun ini.
Semuanya terasa cepat berlalu, dan terlalu cepat untuk diungkapkan,
selain dia tak pernah membuat respon positif terhadap sikapku tapi
entahlah mungkin dia terlalu risih dengan teman yang menjadi cinta atau
dia memiliki pujaan hati lain.
Hari semakin berlalu, hari semakin tak menjadi milikku. Yang biasa nya biasa aja tapi sekarang malah menjadi tak biasa.
Duduk-duduk di halaman depan sekolah itu memang menjadi hobby sepulang sekolah.
Aku menelentangkan kaki ku sambil mendengarkan lagu mengikuti alunan
musik yang melow, masih kurasakan sapaan hangatnya, masih kurasakan
cubitan nya di pipiku dan masih dapat kuterjemahkan tawa khas nya.
tiba-tiba dimas yang baru datang langsung duduk dihadapanku dan
melakukan hal yang serupa dengan ku, menelentangkan kedua kakinya.
Dan akhirnya kami saling berhadapan dan kedua telapak kaki kami saling
bertemu, suatu kejanggalan tiba-tiba aku tak bernyali untuk mengajaknya
berbicara dan dia pun mengalami hal yang sama padaku. Sorot mata nya tak
lagi biasa terhadapku, kamu berdua saling curi pandang dan aku semakin
tak berani untuk memulai bicara.
Ini seperti keegoisan, tak ada yang ingin memulai. Semuanya menjadi
terasa aneh. Diam, senyap, tak ada suara antara aku dengan dia. Yang ada
hanya dia dengan teman-teman ku.
Semakin hari aku semakin gelisah apa yang harus kulakukan dihadapannya,
aku juga semakin merasa bersalah karena telah merusak hubungan
pertemanan ini. Dia yang tak tahu seberapa lama aku memendamnya dan dia
yang tak pernah inginkan aku. Mungkin Aku harus segera mengungkapkannya.
Hari ini adalah hari perpisahan kelas 12 tahun ajaran 2011/2013 acara
ini dilaksanakan tepatnya 3 hari sebelum pelaksanaan Ujian Nasional.
“selamat pagi fira, cantik sekali hari ini tampil feminim” tiba-tiba shinta mengejutkanku dari belakang.
“kamu baru sekali ini memuji aku, kamu juga lebih cantik dari aku loh”
Fira asifha seorang gadis yang bukan tomboy namun juga bukan feminim
baru sekali ini dirinya disebut feminim karena tidak pernah memakai
short dress.
“dimas udah datang belum shin?”
“udah, dia ganteng sekali hari ini, aku saja hampir terpikat olehnya”
Sambil tersenyum menatapku shinta juga menyinggul siku tanganku.
Tak lama sebelum acara di mulai, semua kelas 12 baris
berpasang-pasangan untuk memasuki gedung acara. Tanpa ku duga, semuanya
terasa menyakitkan ketika dimas lewat hadapanku bergandengan tangan
dengan cewe yang waktu itu kepala nya di elus-elus dihadapanku, Arista
dewi.
Semakin suasana nya hening, semakin tetes air mata ingin membasahi
pipiku, tetapi hati menguatkanku untuk tetap tegar pada saat itu,
berusaha tersenyum mengabaikan kesedihan, berusaha menjaga pandangan
agar tak terlihat, walaupun tak semudah yang dibayangkan tetapi tak
sesulit yang terlihat.
Ku lihat sosok tinggi itu di sudut panggung, aku ingin sekali berbicara
dengannya, akhirnya dengan sekuat hatiku kuberanikan diri.
“kamu liat shinta gak dim?”
“aku gak tau, tadi dia sama aku tapi setelah itu dia menghilang. ”
“hem ya udah deh, kamu mau ke mana?”
“aku nyari arista, aku mau menyatakan cinta kepadanya” bisiknya sambil tersenyum.
“kamu yakin? wah semoga lancar ya” aku berusaha menutupi segalanya, aku berusaha menutupi rasa yang ada.
“yakin dong, makasih banyak ya” sambil melontarkan senyumnya kemudian dia tinggalkanku yang sedang menangis di dalam hati.
Semua sibuk dengan urusan masing-masing, tatapan ku dan tatapannya
yang selalu bertemu ternyata tidak berguna, aku selalu menyangka bahwa
itu petanda kalau dia merasakan hal yang sama padaku.
Untuk saat-saat yang seperti ini sangat di sayangkan kalau tidak ada
pengabadian, foto bareng dimas misalnya. Tapi dia mengesalkan, dia
memanggilku tak ingin mengajak berfoto melainkan menyuruhku untuk
mengambil gambarnya.
Aku terdiam di penghujung acara, saat doa dia berada disampingku sempat
ku sentuh jemarinya secara tidak sengaja, namun kamu hanya tertawa kecil
dan pergi tanpa tau betapa senangnya aku dapat menyentuh jemarimu.
Secara keadaan, jarak aku ke kamu tidak jauh tetapi jarak hati aku ke
kamu yang membuat jauh, ada perbedaan yang aku rasakan namun kamu tak
merasakan dan susahnya jadi aku yang tak bisa menahan perasaanku membuat
semuanya berubah, kamu tak seperti dulu lagi yang suka bercanda.
Sungguh, di situasi seperti ini ingin kuteteskan air mataku tapi itu
tidak menjadi kemungkinan bagiku karena ini bukan tempat yang tepat
untuk melakukannya.
Ku tanya diriku sendiri, bolehkah anak gadis umur 17 tahun ini takut
kehilangan kesempatannya untuk mengungkapkan perasaannya? Terkadang aku
aku terlalu memaksakan kehendakku untuk tetap berdiri kokoh dan menjadi
seorang gadis yang optimis untuk mendapatkan cintanya.
Sore yang mendung tetapi tak kunjung hujan ini membawaku ke dalam
kegalauan, aku semakin tak kuasa menahan rasa cemburu ku. Bagaimana
mungkin aku tak merasakan hebatnya gencaran jantungku saat mendengar
bahwa dia akan menyatakan cinta kepada wanita yang sama sekali tak
pernah ku duga? Haruskah aku menjadi seseorang yang egois untuk
melarangnya menyatakan cinta kepada gadis pujaan hatinya?
Aku hanya bisa menatapnya dari kejauhan di kursi pojok ini, dengan
dia yang bercinta dan dengan aku yang sedang menahan emosiku melihat
mereka bersendu gurau, tertawa seolah tak ada yang tersakiti, dan
bercanda seolah tak ada yang tak senang. Langit semakin tak acuh, sesuai
dengan isi hatiku. Kurasakan langkah-langkahnya kearahku, kurasakan
sapaan hangatnya kearahku, tanpa kusadari, dia sedang berada disampingku
sekarang.
“gambar kita berdua belum ada” Dia menatapku sambil tersenyum kemudian
dipanggilnya seseorang untuk mengambil gambar aku dan dia. Ku lihat
temannya menyembunyikan senyumannya melihat kami berdua berfoto.
Mungkin sesuatu yang aku anggap suatu kesenangan merupakan suatu
keterbiasaan untuknya, itu karena dia tak mengerti arti sikap yang telah
berubah, yang benar saja aku benar-benar mencintainya.
“dim, aku boleh bicara sesuatu?”
“kamu mau bicara apa? Ya bolehlah”
“tapi kamu jangan kaget ya?”
Dia semakin bingung dan sedikit canggung spertinya dia tahu apa yang
akan kukatakan. Kuberanikan diriku, ku tarik nafas ku sejenak untuk
memulainya.
“apakah kamu tidak merasakan perubahan sikapku terhadapmu belakangan ini?”
“rasakan”
“aku minta maaf ya kalau sudah membuatmu tak nyaman”
“apa yang salah? kenapa kamu minta maaf?”
“kamu ingat? Saat pertama kali kita menjadi teman?”
“ya aku ingat, saat pertemuan kita di suatu organisasi kan. Lalu mengapa dengan pertemuan itu?”
aku bagaikan kaktus yang memeluk dirinya sendiri, merasakan cinta sendiri, merasakan sakitnya sendiri.
“dari situ aku mulai mengagumimu semenjak itu, kurasa itu hal yang biasa
tetapi semakin lama aku sadar itu tak hanya sekedar kagum. Jadi selama 2
tahun ini menyimpan perasaan yang tak pernah kamu tahu, aku minta maaf
sudah membuatmu tak nyaman dengan sikapku… ”
“hah? kamu… serius?”
Dia hanya terdiam menatapku yang tak berani menatapnya. Perlahan mataku mulai berkaca-kaca.
“kamu tidak usah menjawab aku, kamu hanya perlu mendengar semua
pengakuanku yang selama ini berpura-pura. Aku tak perlu jawaban, aku
hanya perlu pengertian kalau kamu sudah tahu tolong jaga perasaannku.”
Dia hanya terus diam, diam, dan diam. Hujan pun akhirnya turun membasahi
jalanan di depan gedung. Sepanjang waktu kami hanya diam dan aku
sendiri semakin tak bisa menahan perasaanku bahkan aku berusaha
menyembunyikan air mata yang tertahan ini, ternyata aku tidak berbakat
untuk pura-pura tidak menahan air mataku.
Waktu terus berjalan, angin terus berhembus, aku semakin gelisah apa
yang terjadi setelah aku mengungkapkan perasaanku. Apakah dia akan
mengejarku dan berkata dia memiliki perasaan yang sama denganku atau dia
mengejarku untuk berkata “maaf aku suka arista, bukan kamu” kalimat itu
terlalu tajam untuk masuk ke hatiku.
Seiring berjalannya waktu, aku tak pernah lagi berbicara dengannya
setelah kejadian “aku mencintainya” kemarin. Aku mulai melupakan kamu
yang jauh, dan kita mulai terpisah jauh karena demi pencapaian
masing-masing. Seharusnya yang permanen “kita” bukan “aku” dan “kamu”
yang terpisah.
Sesuatu yang sudah terungkapkan walaupun hasilnya tak seperti yang
diharapkan akan lega jika seseorang itu punya niat untuk tidak
membohongi perasaannya lagi.
—
Hawa di kawasan ini yang membawa cinta, suatu angin yang menyampaikan
perasaan, dan sesuatu jejak yang meningglkan kenangan. Ya aku ingat
tentang 7 tahun yang lalu saat pertama kali kita kenal, dekat sebagai
teman dan kita bertemu lagi di masa depan kita masing-masing dan di
tempat ini lagi, tempat pertama kali aku mengagumimu yang ku anggap
hanya sekedar kagum.
Aku memakai kemeja putihku dengan berstatus sebagai penulis dan kamu
memakai seragam mu dengan berstatus polisi. masa depan kita
mempertemukan kita kembali, di tempat yang sederhana ini namun ini
merupakan awal yang luar biasa untukku.
“hai fir, kamu apa kabar?”
“hai juga dim, alhamdulillah kabar aku baik. kamu?”
“sama seperti kamu. Apa yang kamu rasakan stelah 5 tahun kita tak bertemu?
“haruskah aku menjawabnya?”
“tidak perlu, aku sudah tahu ha ha ha”
“ya kamu ga berubah dari dulu. Sudah sejauh apa hubunganmu dengan arista?”
“tidak sejauh apa-apa, kamu kira waktu itu aku nembak dia di terima gitu?”
Aku terdiam dan mentapnya dengan bingung, tanpa memikirkan apa-apa lagi aku terus berusaha meyakinkan apa maksudnya.
“aku di tolak, aku suka sama dia tetapi ku pikir dia memiliki hal yang sama ternyata tidak”
“hah…”
“kamu, sejauh apa sekarang perasaanmu dengan pria beberapa tahun yang
lalu itu apakah masih dia yang ada dihatimu? apakah masih dia yang kamu
perjuangkan?”
ucapnya sambil tertawa kecil. Aku tak menjawab, aku hanya tersenyum
kecil dan langsung tak menatapnya. Apakah aku salah jika masih
memperjuangkanmu, meskipun aku tak bilang?
Di awan-awan aku kembali dibawanya terbang, menerawang segala yang di
langit aku kembali dibawakan terbang oleh cintanya. Aku kembali, kembali
seperti saat pertama kali jatuh cinta, jelas aku sedang menikmati
senyumnya saat ini. Kami di peretemukan kembali di tempat ini dengan
sukses.
Cerpen Karangan: Dina agustina