ENTRI POPULER
-
Puting susu adalah bagian paling sensitif pada payudara perempuan yang tidak boleh disentuh oleh laki-laki manapun kecuali suami sen...
-
Anda telah menjalin hubungan dengan seorang pria yang spesial. Namun Anda masih ragu apakah dirinya ingin menjalani hubungan yang lebi...
-
POLISI Polisi : Gimana kejadiannya, kamu menabrak 50 orang dalam suatu kecelakaan mobil!? Jony : waktu ngendarain mobil, ke...
-
Tanda-Tanda Seorang Cowok Suka Sama Cewek (Naksir) Bagi taman teman cewek mungkin masih bingung membedakan cowok yang suka atau naksir ...
-
Dua manusia yang merasa saling berjodoh pasti memiliki ikatan emosional, spiritual dan fisik antara keduanya. Hanya dengan menatap ma...
-
Jancok, jancuk atau dancok adalah sebuah kata khas Surabaya yang telah banyak tersebar hingga meluas ke daerah kulonan (Jawa Timur seb...
-
Artikel ini memberikan informasi untuk dapat memasuki pikiran cewek itu dan lebih dekat dengannya. Ingat dasar keberanian adalah modal ya...
-
Pernikahan merupakan suatu jalan untuk memulai suatu babak babak baru dalam kehidupan seseorang. Bagi seorang wanita, menikah merupakan tem...
-
Tanaman binahong banyak dijumpai disekitar kita dan bisa dijadikan sebagai tanaman obat yang mempunyai khasiat untuk menyembuhkan berbagai...
-
Arti Mimpi Seks Makna Mimpi Seksual Anda - Mimpi tidak hanya sekedar buah tidur. Mimpi bisa menjadi petunjuk yang menandakan kondisi s...
Home
»
Cerpen
»
Gelap Terang Senyuman
“Gapai semua jemariku, rangkul aku dalam bahagiamu, ku ingin bersama berdua selamanya. Jika ku buka mata ini ku ingin selalu ada dirimu dalam kelemahan hati ini bersamamu, aku tegar”
—
Aku masih termenung menatap senja taman kota ini, Jogjakarta. Masih sama seperti yang dulu, hatiku hancur mengingat semuanya, sesal memang hari ini yang kurasa, coba saja waktu itu aku mengikuti saran ayah, mungkin semua cerita ini tak akan terjadi.
Dan sore itu enam tahun yang lalu keluarga Mas Teguh datang untuk melamarku, aku masih berusaha ikhlas demi ayah, meski sebenarnya aku tak menginginkan untuk terjadi secepat ini. Episode yang begitu menyesakkan dada, bagiku semuanya akan berakhir, tentang angan dan pula mimpi mimpiku. Aku sangat ingin melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi untuk mendapat karir yang bagus, jika aku sudah menjadi istri maka aku harus tunduk dan taat padanya, aku diwajibkan fokus berbakti pada suami dan anak anak ku kelak. Lalu bagaimana dengan cita citaku untuk berkeliling dunia? pikiran-pikiran seperti ini yang terus saja memenuhi otakku.
“ahhhhhh, wahai angin segar, lewatlah sejenak lewati hatiku. Bosan, penat, sesak, penuh di dadaku. Tuhan, aku tak dapat menyebut ini tentang apa, hanya kurasa berat sekali. Tuhan, aku ini milikmu, maka aku ingin selalu ikhlas atas segalamu. Dan aku yakin engkau selalu memberiku yang terbaik.”
Teguh Iman Mahadi dialah lelaki pilihan ayah, dia sarjana ilmu telekomunikasi di salah satu universitas ternama di Indonesia, anak dari teman ayah semasa dulu tinggal di Jakarta, aku tak tahu banyak tentang dia, wajahnya saja aku tak pernah faham hanya lewat foto aku memandangnya, laki laki yang terlihat gagah dan tampan, tapi entahlah aslinya aku juga tak tau, tapi pada suatu sore dia pernah menelefonku, suaranya begitu menyejukkan hati, tutur katanya yang sopan dan lembut memaksaku untuk tidak mengecewakan ayah. Kata ayah dia adalah sosok lelaki yang tak mau main-main tentang apa itu yang namanya cinta, dan pula tak suka mempermainkan wanita, hingga akhirnya Mas Teguh menyetujui saran ayah terhadapnya untuk menjadikan ku sebagai pendamping hidupnya, bukan pacar atau sejenisnya. Padahal aku tau mungkin saja banyak wanita yang mendambanya di luar sana, tapi dia tetep teguh pendirian, persis seperti nama nya Teguh Iman Mahadi. Aku tak peduli itu semua, pikirku perjodohan ini adalah hal terkonyol dalam hidupku. Jujur sebenarnya hatiku berat untuk mendengar namanya dari mulut ayah, dan aku ingin sekali menggagalkan acara perjodohan ini.
Ayahku memang sedikit kolot, baginya hal terpenting bagi seorang wanita adalah bukan berilmu tinggi atau berkarir cemerlang, ia hanya ingin aku bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak anakku kelak, masalah financial itu hanya kewajiban seorang laki laki, ya memang ada benarnya juga agar aku menjadi sebaik baiknya wanita bagi keluargaku kelak, tapi di sisi lain pemikiran ini sangat kontras dengan ide ideku, simpel saja, toh aku ingin jadi wanita sukses untuk membahagiakan ayah, karena beliaulah satu satu nya yang kumiliki, tak ada ibu, tak ada pula saudara.
Sebelas tahun yang lalu ayah mendapat kabar dari saudara bahwa nenek sedang sakit, aku ingat sekali hari itu hari kamis dua puluh lima januari dua ribu tiga, dan di hari selanjutnya ayah benar benar tak bisa meninggalkan kantor Karena ada rapat dadakan dengan klien dari luar daerah, sehingga terpaksa hanya ibu dan kak farhan yang berangkat ke Blitar untuk menengok kedaan nenek, lalu ibu menyuruhku bersama ayah agar menyusul di keesokan harinya, waktu itu aku marah pada ibu kanapa aku harus berangkat dengan ayah tiri ku, aku memang tak mau mencoba akrab dengannya, ya aku memang selalu tak mau mencoba akrab dengannya, karena sejak ayah kandungku meninggal tepatnya saat aku duduk di bangku kelas dua SD, aku memang selalu kekeuh untuk tidak menerima ayah baru untuk menggantikan posisi ayah, aku sangat menyayanginya melebihi apapun, ayahku mengidap penyakit leukemia tiga tahun sebelum meninggal, aku selalu menungguinya di rumah sakit, ikut mengantarkan nya berobat kemana-mana, hingga suatu saat ada teman ibu yang menyarankan agar ayah di bawa ke tempat pengobatan tradisional milik H. Syamsul Bahri yang berada di kota Blitar, jauh memang dari Jogjakarta, namun demi ayah ibu tak pernah menyerah, ibu selalu bersemangat untuk membantu ayah menyembuhkan penyakitnya, nah di sana lah ibu dipertemukan dengan ayah tiriku. Om Mafatih Ali begitu dulu aku selalu memanggilnya, walaupun sudah punya anak tapi beliau masih muda plus masi kece gitu, dia adalah putra pertama dari H. Syamsul yaitu beliau yang rutin mengobati ayah.
Hingga pada saat itu tiba hari minggu empat belas agustus dua ribu satu di salah satu rumah sakit di Jogjakarta ayah menghembuskan nafas terakhirnya, aku tak kuat sungguh tak kuat melihat ayahku di detik detik terakhir sakarotul mautnya, terus saja ku peluk suster yang memang sedari tadi menemaniku dengan sangat erat sambil menangis sesenggukan di pelukannya. Entah apa yang ku rasa saat itu, yang aku tahu hanya tuhan sangat jahat kepada kami kerena telah mengambil ayah dengan secepat itu, aku masih ingin bermain dengan nya, aku masih ingin pergi ke pasar malam dengan nya, aku masih ingin dibacakan dongeng oleh ayah sebelumku tidur di pangkuan nya.
Beberapa tahun setelah itu memang ibu menikah dengan Om Mafatih seorang ayah tiri yang ternyata benar-benar mencintaiku dengan sangat tulus, Om mafatih punya satu anak lelaki dari istri pertamanya yang sudah meninggal sejak anak pertama mereka lahir. Dia itu adalah kak Farhan.
Aku sangat sadar kalau Om Mafatih itu sangat menyayangiku layaknya anak kandung sendiri, seperti dia menyanyangi kak Farhan anak kandungnya, tapi sekali lagi aku belum bisa menerimanya sepenuhku persis seperti aku menyayangi ayah kandungku.
Hingga selanjutnya datang hari dimana tuhan telah menggariskan aku harus kehilangan orang yang sangat aku sayangi untuk yang kedua kalinya, pagi itu jumat dua puluh enam januari dua ribu tiga ibu bersama kakak berangkat ke Blitar tanpa sepengetahuanku, saat itu memang masih sangat pagi dan aku pun jelas masih tidur, ibu hanya pamit pada ayah “yah, ibu berangkat dulu ke Blitar untuk menjenguk ibu ya, jaga nada ya yah, jangan lupa besok ajak dia menyusul ke Blitar bersamamu, aku tak mau dia banyak bolos sekolah seperti tahun kemarin, cukup izin untuk hari sabtu besok saja, toh hari minggunya dia libur.”
Tidak terlalu jelas memang pesan ibu, dan tak memberikan pertanda apapun bahwa akan terjadinya musibah besar di hari itu, setelah minta izin pada ayah, ibu dan kakak pun segera bergegas berangkat menuju ke stasiun.
Aku bangun, tak tau kenapa pagi itu terasa sangat aneh, tak ada teriakan ibu seperti biasanya, aku malah seperti mendengar suara ayah kandungku memanggil manggil nama ibu, aku menuju ke lemari pendingin untuk mengambil segelas air putih, aku terkejut melihat di depan pintu kulkas ada tulisan ibu, kira kira seperti ini tulisannya, “sayang, pasti baru bangun tidur yaa?, tuh kan dugaan ibu benar, hehehe. Nak ibu minta maaf ya ninggalin kamu di rumah sendirian sama ayah, nada gak boleh nakal ya sayang, harus nurut sama ayah gak boleh keras kepala kaya kemaren-kemaren ya nak, love you sayang, muach” aku cuman nyengir baca tulisan ibu, soalnya apa yang di tulis ibu itu semuanya benar.
Sekitar jam sepuluhan ayah masih sempat menelephon ibu “assalumualaykum, dekk” “waalaykum salam ayah sayang” “sudah sampai mana dek?” “emm, nyampe mana ya yah, kurang paham juga, kayanya nyampe hatinya ayah deh, hahaha” “adek ni bisa aja” “tapi intinya bentar lagi udah mau nyampe kok yah, kenapa? kangen ya?” “hwahaha GR abis deh, tapi emang bener sih kangen pengen cepet ketemu besok, atau secepatnya” “hehehe iya deh secepatnya bakal ketemu, nih farhan lagi tidur yah, capek katanya, dia bilang nanti kalo udah sampai dia mau langsung tidur” “haha farhan mah emang hobi tidur tuh, haha” “emang ayah nggak?” “hahaha sama, ya udah dek, ni abang mau jemput nada ke sekolahnya dulu ya! kasian dia nanti kalo lama nungguin nya.” “iya yah hati hati ya” “iya sayaaaang, kamu juga hati hati ya, ayah love ibu so much, assalamualykum” “hihi love you too ayah sayang, iya waalaykusalam.”, dan tiba tiba ibu menambahkan bicaranya “yah, jaga nada ya selama aku gak ada di rumah.” tut tut tut telepon pun terputus sebelum ayah menjawab perkataan ibu yang terakhir tadi.
Begitupun selanjutnya ayah langsung menuju ke sekolahku untuk menjemputku pulang, lalu mampir sebentar ke warung makan untuk makan siang bersama.
Di perjalanan pulang tiba tiba handphone ayah berbunyi, di lihatnya telephon itu, “siapa yah?” Tanya ku, “ini kok ibu tiba tiba telepon lagi ya nak, padahal ayah kan baru aja telepon dia” “ya udah sini nada aja yang angkat”. langsung aja aku teriak “ibuuuuuuuuuu, kanapa tinggalin nada?” tapi yang kudengar bukan suara ibu, hanya suara gemuruh tidak jelas, dan sesekali sepertiku mendengar teriakan, bahkan tangisan. “Yah, coba ayah aja yang bicara, berisik banget nada gak denger apa apa” “ya sini, hallo assalamualaykum, dek, assalmualaykum sayang, hallo dek kenapa nggak jawab, halloo”, terus saja ayah mengulanginya tapi tak ada suara jawaban. “mungkin handphone ibu tadi kepencet nak, kata ayah mencoba menenangkan ku, meski aku sangat tau mukanya berubah seketika jadi panik.
Sesampainya di rumah seperti biasanya sepulang dari kantor ayah pasti menyalakan televisi. Betapa sangat terkejutnya ayah ketika melihat siaran lansung di salah satu stasiun TV yang memberitakan kecelakaan kereta api jurusan blitar yang kemungkinan besar ada ibu dan kak farhan didalamnya, Ya memang benar, ibu dan kak farhan ada didalamnya, tapi pertanyaannya adalah apakah mereka selamat?, seketika itu ayah tanpa pikir panjang membawaku kemudian melaju dengan kecepatan yang tak seperti biasanya menuju ke tempat dimana kereta itu mengalami kecelakaan.
Sungguh nyata perkataan ibu kepada ayah, secepatnya mereka akan bertemu, bahkan selang beberapa jam mereka dipertemukan kembali, tapi dalam keadaan ibu yang telah tak bernyawa, kak farhan juga begitu, ia benar benar istirahat panjang setelah sampai, ternyata maksudnya adalah saat sampai ajalnya tiba, sedih tak terkira rasanya. Aku kehilangan separuh jiwaku, bahkan pada bulan bulan awal kepergian ibu aku seperti mayat hidup yang tak berdaya, aku enggan menjalani hidupku kembali, rasanya aku ingin mati juga bersama ibu. Tapi ayah dengan sabarnya selalu berusaha menenangkanku, menghiburku, hingga sampai saat ini aku menjadi sangat tegar dan menerima dengan ikhlas apa yang telas digariskan Allah kepada keluarga kami.
Kembali lagi ke mimpiku untuk berkeliling dunia, melanjutkan study ke jenjang lebih tinggi, dan akhirnya menjadi wanita sukses, ayah masih saja kekeuh dengan pendiriannya, menentang keras permintaanku yang satu ini, hingga pada suatu ketika keluarlah dari mulutku, “yah, tujuan hidup nada cuman satu, ingin membahagiakan ayah, membalas semua kebaikan ayah, aku tak punya siapa siapa kecuali ayah, kalau nada menikah sekarang pasti fokus nada akan terpecah kepada suami nada, anak-anak nada kelak, dan juga kepada keluarga besar suami nada, ibu mertua, ayah mertua dan masih banyak lagi yah pastinya, dan sebelum itu semua, nada benar benar ingin membahagiakan ayah, tolong yah dukung nada untuk yang satu ini, kemauan nada besar sekali yah dan satu lagi, Nada sangat percaya bahwa jodoh sudah di atur oleh tuhan, tolong ayah jangan paksa nada untuk perjodohan ini”, dengan air mata yang tiba tiba mengalir deras juga perasaan lega akhirnya kata-kata ini yang sejak dulu ingin aku ucapkan akhirnya keluar juga dari mulutku. Tiba tiba ayah diam tanpa sedikitpun jawaban dan memelukku dengan sangat erat, seketika suasana berubah menjadi haru biru, ku lihat ayah yang ternyata sedari tadi ikut menangis sambil memelukku. “maafkan ayah nak, ayah yang salah, seharusnya ayah mendukungmu untuk mencapai cita cita yang kau inginkan, bukan malah memaksamu seperti ini, ternyata berusaha menjodohkanmu dengan lelaki pilihan ayah itu adalah ambisi ayah sendiri, kemarin ayah takut kamu akan salah melangkah dalam memilih pasangan hidup, ayah cuman ingin kamu mendapatkan yang terbaik, sekarang ayah sadar kalau jodoh tak akan kemana, kalau kalian berjodoh pasti saatnya tiba kalian akan dipertemukan, jodoh ditangan Allah, terimakasih nak telah menyadarkan ayah.”
Hatiku lega selega leganya karena satu pintuku telah terbuka, dan ternyata Allah telah mengatur semunya dengan sangat indah pada waktunya, lamaran beasiswa yang aku ajukan lima bulan yang lalu ke salah satu perguruan tinggi di Australia terjawab sudah. Dan taukah engkau apa jawabnya? “Aku diterimaaaaaaaa”, puji syukur ini tak henti hentinya ku ucap, dari dua ribu pundaftar hanya di ambil sepuluh orang, dan akulah salah satuya. aku bukan orang yang pintar, hanya saja Allah adalah Sang Maha Pemurah kepada setiap hambanya. Allah sangat baik kepadaku hingga Beliau memberiku semua ini. sunguh beruntung, ya aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung di dunia ini. “Ya robb terimakasih” ini sungguh di luar dugaanku, selainku bisa melanjutkan study, ini juga menjawab mimpiku yang kedua untuk berkeliling dunia.
Ku kabarkan pada ayah berita yang sangat menggembirakan ini, ayah lantas menghubungi Mas Teguh Iman Mahadi dan pula menceritakan semuanya, tentang rencanaku untuk melanjutkan belajarku di Australia, aku tercengang mendengar jawaban yang di lontarkan Mas Teguh pada ayah, “Alhamdulillah, demi Allah saya ikhlas om, saya justru sangat mendukung keputusan Dek Nada untuk melanjutkan belajar.” “lantas bagaimana rencanamu kedepan Nak Teguh? kamu boleh menikahi siapa saja, kamu bebas. Om telah ikhlaskan seandainya kamu menjadi menantu orang lain.” “he he he Om ini bisa saja, insyaallah saya akan bisa menunggu Dek Nada sampai ia menyelesaikan belajarnya, saya justru bangga padanya, dan semakin mantap hati ini terhadapnya Om.” “subhanallah memang kau anak yang baik, tak salah kalau Om kemarin ngotot untuk menjadikan mu sebagai menantu Om.” “aduh teguh jadi malu Om bilang seperti itu.” “lantas apa rencanamu kedepan nak?” “insyaallah teguh mau melanjutkan study ke jenjang selanjutnya Om.” “oh bagus sekali, Om dukung seratus persen nak,hehehe” “trimaksih Om atas dukungannya.”
Mendengar jawaban Mas Teguh yang mau menungguku sampai aku menyelesaikan belajarku di Australia. Bagiku ini aneh, tiba tiba saja perasaan ini muncul, aku tak tau kenapa hatiku bisa berubah dengan begitu cepatnya, sejak saat itu kuasa aku benar benar mencintainya, dan kini aku merasa tak mau kehilangan dia, sungguh aku sangat yakin bahwa dia adalah imam yang sangat pas untukku, bisa membimbingku menjadi lebih baik, ayah memang sangat pintar memilihkan nya untukku.
Sejak saat itu aku semakin sering berkomunikasi dengan Mas Teguh, semakin akrab dan sangat akrab, hingga pada hari itu aku harus berangkat ke Australia, ayah bersama Mas Teguh lah yang mengantarkanku sampai ke Bandara, rasa bahagia karena akhirnya apa yang aku dambakan bisa terwujud, bercampur dengan sedih karena harus meninggalkan tanah air dan ayah tercinta, pula harus meninggalkan dia sang pujaan hati. Tapi rasa semangatku ini mengalahkan semuanya, hasrat untuk merealisasikan citi-cita pun semakin menggebu, aku sangat yakin bahwa aku bisa!!!.
“Australiaaaaa indah sekali kau, terima kasih tuhan telah kau izinkan kau memijaki tanah asing ini”. Ya aku sampai di Australia. Pulau terbesar di dunia, tetapi merupakan benua terkecil dari semua benua-benua yang ada, dan taukah kamu dua puluh persen dari penemuan ilmiah di dunia berasal dari Australia. kata orang-orang gelar atau ijasah yang diperoleh dari Universitas di Australia telah diakui oleh seluruh dunia. Di sana tepatnya aku tinggal di Sidney, aku punya orang tua angkat, Mr. Bob yang sangat ramah dan Mom Greeta yang begitu cantik dan baik hati, juga Judith anak perempuan kecilnya yang lucu, aku di sambut hangat oleh keluarga ini, dengan cepat aku bisa menganggap mereka layaknya keluarga sendiri.
Aku juga senang dengan situasi belajar di sana, di dukung pula oleh teman teman yang semuanya well come kepadaku, seminggu sekali aku menghubungi ayah yang berada di Indonesia. Dan menceritakan semuanya. Juga mas teguhku, dia semakin sejuk di hati, bicaranya yang kalem dan santun membuatku tenang di buatnya. Tapi aku tak tahu kenapa tiba tiba di awal tahun ke tigaku ini dia berubah. “Apa aku punya salah? tapi tenang aja mas aku akan selalu mencintaimu, sampai kapanpun, meski di sini banyak bule bule cakep, masih hanya kamu yang ku damba”. Kira kira seperti inilah pesan yang kukirimkan untuknya melalui ponselku. “maaf ya dek!”, jawaban yang begitu singkat namun aku paham apa maksudnya, mungkin dia sedang sibuk atau mungkin kelelahan dengan aktivitasnya, sejak saat itu komunikasi dengannya mulai punya jeda yang panjang, dan tak terhitung sering lagi, aneh memang, tapi kupikir ini mungkin cara yang terbaik untuk menjaga dan menguatkan rasa sayang pula rindu di antara kita.
Empat tahun pun akhirnya telah terlewati dan Alhamdulillah aku telah lulus dari Universitas ini dengan nilai yang lumayan lah, cukup memuaskan pula tidak memalukan. senang sekali rasanya sebentar lagi akan pulang ke Negara halamanku Indonasia.
Pulang, akhirnya aku pulang juga ke Indonesia tercinta, pagi-pagi sekali aku sampai di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Ku lihat ayah dari jauh memanggilku dengan penuh suka cita, di situ kulihat ada ayah, kakek, nenek, dan beberapa saudara, ada juga tetangga samping rumah yang ikut pula menjemputku. Aku bahagia sekali melihat senyum mereka yang berbinar-binar sambil sesekali menunjuk ke arahku. aku melambaikan tangan lalu tersenyum membalas tatapan-tatapan merdu mereka. Degg, hatiku tiba-tiba berdesir, “tapi kenapa tak kulihat di antara mereka pujaan hatiku, mas Teguh Iman Mahadi?, ah mungkin saja dia sedang sibuk.”
Kusalami semua orang yang menjemputku, ku peluk ayah dengan erat, dan tangis terpecah di antara kita karena bahagia, bahagia sekali bisa berkumpul dengan sanak saudara. Sesampainya di rumah langsung kubuka tas besarku dan ku keluarkan semua jenis oleh-oleh yang kubawa dari Australia.
Pada malam harinya aku dan ayah duduk berdua di teras rumah, sambil memandang bintang bintang yang sangat indah berkerlip di langit, suasana tenang dan sunyi. “yah, kenapa tadi Mas Teguh tidak ikut bersama menjemput Nada?”, tiba tiba raut wajah ayah terlihat bereda, seperti ada yang ingin ia sampaikan, “nak, masihkah kau mencintai nak teguh?” “kenapa ayah bertanya seperti itu?, masih lah yah, bahkan sangat mencintainya.” “ayah mau cerita sama Nada, tapi janji ya gak boleh marah sama ayah atau siapapun setelah ayah cerita ini!” “cerita apa sih yah? Nada jadi panasaran, iya iya Nada gak bakalan marah ke siapapun, Nada janji!”
Dan tau kah kamu apa yang bakal di ceritakan ayah pada malam itu?, sungguh berita ini membuatku hancur sejadi jadinya, air mata nenetes begitu derasnya, tiada bencana yang menyedihkan, tiada luka yang menyakitkan tapi kecewa karena cinta. “Nak, sebenarnya nak Teguh sudah mengatakan ini tepatnya setahun yang lalu saat kau masih di Australia, bahwa dia minta maaf sebesar besarnya karena telah menghianatimu, nak teguh cerita banyak dengan ayah tentang kegundahannya ini, dia mencintai seorang gadis teman kuliahnya namanya Shofia, dia juga tak menyangka kenapa tiba tiba saja ia begitu jatuh cinta dengan Shofia ini, waktu itu dia juga bilang sama ayah untuk mau menceritakan apa yang sedang ia gundahkan kepadamu, tapi ayah menolaknya. Ayah tau kau begitu mencintainya, ayah takut ini akan sangat menyakitkanmu. Dan menjadikan konsentrasi belajarmu buyar oleh kekecewaan. Dia sudah menikah dengan shofia tiga bulan yang lalu.” “kenapa ayah membiarkannya?, padahal ayah tahu kalau Nada benar benar mencintainya.” “maafkan ayah nak, ayah ingat kata katamu waktu itu bahwa jodoh telah di atur oleh tuhan, dan tak bisa dipaksakan, bagitupun ayah tak mungkin melarang nak Teguh untuk mencintai wanita pilihannya itu.” “tapikan yah…” “Nada Kamila Fajrina anak ayah tersayang, tolong jangan egois nak, mencintai itu tidak harus memiliki, dan ayah yakin tuhan akan memberikan yang lebih baik untukmu. bahkan jauh lebih baik, kamu percaya itukan?. Aku mengangguk pelan sambil menangis sesenggukan di samping ayah, lalu aku masuk ke kamar meninggalkan ayah tanpa mempedulikan panggilannya. Tangis kutahan dihadapan para saudara yang memang sedari tadi sedang menonton TV di ruang tengah.
Hingga tak ada lagi celah hati yang kosong,
Semua telah terisi penuh tentang cinta untukmu,
Dan berapa banyak air mata yang menetes karenamu,
Harapan agar kau berada satu shof didepan ku, itu hanya mimpi,
Ternyata, ketulusan cintaku tiada pernah kau anggap ada,
Tuhan, beri aku petunjuk tuk memperoleh sirnanya,
Setelah berjam jam merenung, akhirnya hanya rasa tak pantas untuk bersanding dengannya lah yang bisa kujadikan sebagai penutup lara hati ini, mungkin dia terlalu baik jika untukku, berkali kali kupaksa hatiku untuk menerima kenyataan ini, Menegaskan dengan keras kepada diri sendiri bahwa aku memang bukan jodohnya.
Satu minggu setelah itu, ayah mendapatkan kabar bahwa istri mas Teguh sedang di rawat di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Ayah lantas mengajakku untuk ikut serta menjunguknya. Di rumah sakit itu adalah pertama kalinya ku menatap wajahnya setelah kepulanganku dari Australia, masih saja sejuk di mata, sejuk pula di hati, tutur katanya masih sama sopan dan halus. “dek nada?” dia seperti tak percaya akan kedatanganku siang itu, ku lihat ada sedikit rasa bersalah dari sorot matanya, “kapan kamu pulang dari Australia dek?”, Tanya nya gugup. “seminggu yang lalu mas.” Jawabku singkat. Ayah memegang tanganku erat, seakan akan ia berbisik, “tegarlah nak, ikhlaskan dengan keikhlasan yang seikhlas ikhlasnya bahwa dia bukan jodohmu”. Kupandangi istrinya yang sedang tidur dengan selang infus di tangannya, mangenakan jilbab hijau yang di urai ke bahu, parasnya cantik dan tak bosan di pandang. “Beruntung sekali Mas Teguh Iman Mahadi ini mandapatkan istri secantik kak shofia”, batinku semakin ikhlas melepasnya setelah memandangi wanita cantik di hadapanku itu…
Gelap Terang Senyuman
“Gapai semua jemariku, rangkul aku dalam bahagiamu, ku ingin bersama berdua selamanya. Jika ku buka mata ini ku ingin selalu ada dirimu dalam kelemahan hati ini bersamamu, aku tegar”
—
Aku masih termenung menatap senja taman kota ini, Jogjakarta. Masih sama seperti yang dulu, hatiku hancur mengingat semuanya, sesal memang hari ini yang kurasa, coba saja waktu itu aku mengikuti saran ayah, mungkin semua cerita ini tak akan terjadi.
Dan sore itu enam tahun yang lalu keluarga Mas Teguh datang untuk melamarku, aku masih berusaha ikhlas demi ayah, meski sebenarnya aku tak menginginkan untuk terjadi secepat ini. Episode yang begitu menyesakkan dada, bagiku semuanya akan berakhir, tentang angan dan pula mimpi mimpiku. Aku sangat ingin melanjutkan study ke jenjang yang lebih tinggi untuk mendapat karir yang bagus, jika aku sudah menjadi istri maka aku harus tunduk dan taat padanya, aku diwajibkan fokus berbakti pada suami dan anak anak ku kelak. Lalu bagaimana dengan cita citaku untuk berkeliling dunia? pikiran-pikiran seperti ini yang terus saja memenuhi otakku.
“ahhhhhh, wahai angin segar, lewatlah sejenak lewati hatiku. Bosan, penat, sesak, penuh di dadaku. Tuhan, aku tak dapat menyebut ini tentang apa, hanya kurasa berat sekali. Tuhan, aku ini milikmu, maka aku ingin selalu ikhlas atas segalamu. Dan aku yakin engkau selalu memberiku yang terbaik.”
Teguh Iman Mahadi dialah lelaki pilihan ayah, dia sarjana ilmu telekomunikasi di salah satu universitas ternama di Indonesia, anak dari teman ayah semasa dulu tinggal di Jakarta, aku tak tahu banyak tentang dia, wajahnya saja aku tak pernah faham hanya lewat foto aku memandangnya, laki laki yang terlihat gagah dan tampan, tapi entahlah aslinya aku juga tak tau, tapi pada suatu sore dia pernah menelefonku, suaranya begitu menyejukkan hati, tutur katanya yang sopan dan lembut memaksaku untuk tidak mengecewakan ayah. Kata ayah dia adalah sosok lelaki yang tak mau main-main tentang apa itu yang namanya cinta, dan pula tak suka mempermainkan wanita, hingga akhirnya Mas Teguh menyetujui saran ayah terhadapnya untuk menjadikan ku sebagai pendamping hidupnya, bukan pacar atau sejenisnya. Padahal aku tau mungkin saja banyak wanita yang mendambanya di luar sana, tapi dia tetep teguh pendirian, persis seperti nama nya Teguh Iman Mahadi. Aku tak peduli itu semua, pikirku perjodohan ini adalah hal terkonyol dalam hidupku. Jujur sebenarnya hatiku berat untuk mendengar namanya dari mulut ayah, dan aku ingin sekali menggagalkan acara perjodohan ini.
Ayahku memang sedikit kolot, baginya hal terpenting bagi seorang wanita adalah bukan berilmu tinggi atau berkarir cemerlang, ia hanya ingin aku bisa menjadi istri dan ibu yang baik bagi anak anakku kelak, masalah financial itu hanya kewajiban seorang laki laki, ya memang ada benarnya juga agar aku menjadi sebaik baiknya wanita bagi keluargaku kelak, tapi di sisi lain pemikiran ini sangat kontras dengan ide ideku, simpel saja, toh aku ingin jadi wanita sukses untuk membahagiakan ayah, karena beliaulah satu satu nya yang kumiliki, tak ada ibu, tak ada pula saudara.
Sebelas tahun yang lalu ayah mendapat kabar dari saudara bahwa nenek sedang sakit, aku ingat sekali hari itu hari kamis dua puluh lima januari dua ribu tiga, dan di hari selanjutnya ayah benar benar tak bisa meninggalkan kantor Karena ada rapat dadakan dengan klien dari luar daerah, sehingga terpaksa hanya ibu dan kak farhan yang berangkat ke Blitar untuk menengok kedaan nenek, lalu ibu menyuruhku bersama ayah agar menyusul di keesokan harinya, waktu itu aku marah pada ibu kanapa aku harus berangkat dengan ayah tiri ku, aku memang tak mau mencoba akrab dengannya, ya aku memang selalu tak mau mencoba akrab dengannya, karena sejak ayah kandungku meninggal tepatnya saat aku duduk di bangku kelas dua SD, aku memang selalu kekeuh untuk tidak menerima ayah baru untuk menggantikan posisi ayah, aku sangat menyayanginya melebihi apapun, ayahku mengidap penyakit leukemia tiga tahun sebelum meninggal, aku selalu menungguinya di rumah sakit, ikut mengantarkan nya berobat kemana-mana, hingga suatu saat ada teman ibu yang menyarankan agar ayah di bawa ke tempat pengobatan tradisional milik H. Syamsul Bahri yang berada di kota Blitar, jauh memang dari Jogjakarta, namun demi ayah ibu tak pernah menyerah, ibu selalu bersemangat untuk membantu ayah menyembuhkan penyakitnya, nah di sana lah ibu dipertemukan dengan ayah tiriku. Om Mafatih Ali begitu dulu aku selalu memanggilnya, walaupun sudah punya anak tapi beliau masih muda plus masi kece gitu, dia adalah putra pertama dari H. Syamsul yaitu beliau yang rutin mengobati ayah.
Hingga pada saat itu tiba hari minggu empat belas agustus dua ribu satu di salah satu rumah sakit di Jogjakarta ayah menghembuskan nafas terakhirnya, aku tak kuat sungguh tak kuat melihat ayahku di detik detik terakhir sakarotul mautnya, terus saja ku peluk suster yang memang sedari tadi menemaniku dengan sangat erat sambil menangis sesenggukan di pelukannya. Entah apa yang ku rasa saat itu, yang aku tahu hanya tuhan sangat jahat kepada kami kerena telah mengambil ayah dengan secepat itu, aku masih ingin bermain dengan nya, aku masih ingin pergi ke pasar malam dengan nya, aku masih ingin dibacakan dongeng oleh ayah sebelumku tidur di pangkuan nya.
Beberapa tahun setelah itu memang ibu menikah dengan Om Mafatih seorang ayah tiri yang ternyata benar-benar mencintaiku dengan sangat tulus, Om mafatih punya satu anak lelaki dari istri pertamanya yang sudah meninggal sejak anak pertama mereka lahir. Dia itu adalah kak Farhan.
Aku sangat sadar kalau Om Mafatih itu sangat menyayangiku layaknya anak kandung sendiri, seperti dia menyanyangi kak Farhan anak kandungnya, tapi sekali lagi aku belum bisa menerimanya sepenuhku persis seperti aku menyayangi ayah kandungku.
Hingga selanjutnya datang hari dimana tuhan telah menggariskan aku harus kehilangan orang yang sangat aku sayangi untuk yang kedua kalinya, pagi itu jumat dua puluh enam januari dua ribu tiga ibu bersama kakak berangkat ke Blitar tanpa sepengetahuanku, saat itu memang masih sangat pagi dan aku pun jelas masih tidur, ibu hanya pamit pada ayah “yah, ibu berangkat dulu ke Blitar untuk menjenguk ibu ya, jaga nada ya yah, jangan lupa besok ajak dia menyusul ke Blitar bersamamu, aku tak mau dia banyak bolos sekolah seperti tahun kemarin, cukup izin untuk hari sabtu besok saja, toh hari minggunya dia libur.”
Tidak terlalu jelas memang pesan ibu, dan tak memberikan pertanda apapun bahwa akan terjadinya musibah besar di hari itu, setelah minta izin pada ayah, ibu dan kakak pun segera bergegas berangkat menuju ke stasiun.
Aku bangun, tak tau kenapa pagi itu terasa sangat aneh, tak ada teriakan ibu seperti biasanya, aku malah seperti mendengar suara ayah kandungku memanggil manggil nama ibu, aku menuju ke lemari pendingin untuk mengambil segelas air putih, aku terkejut melihat di depan pintu kulkas ada tulisan ibu, kira kira seperti ini tulisannya, “sayang, pasti baru bangun tidur yaa?, tuh kan dugaan ibu benar, hehehe. Nak ibu minta maaf ya ninggalin kamu di rumah sendirian sama ayah, nada gak boleh nakal ya sayang, harus nurut sama ayah gak boleh keras kepala kaya kemaren-kemaren ya nak, love you sayang, muach” aku cuman nyengir baca tulisan ibu, soalnya apa yang di tulis ibu itu semuanya benar.
Sekitar jam sepuluhan ayah masih sempat menelephon ibu “assalumualaykum, dekk” “waalaykum salam ayah sayang” “sudah sampai mana dek?” “emm, nyampe mana ya yah, kurang paham juga, kayanya nyampe hatinya ayah deh, hahaha” “adek ni bisa aja” “tapi intinya bentar lagi udah mau nyampe kok yah, kenapa? kangen ya?” “hwahaha GR abis deh, tapi emang bener sih kangen pengen cepet ketemu besok, atau secepatnya” “hehehe iya deh secepatnya bakal ketemu, nih farhan lagi tidur yah, capek katanya, dia bilang nanti kalo udah sampai dia mau langsung tidur” “haha farhan mah emang hobi tidur tuh, haha” “emang ayah nggak?” “hahaha sama, ya udah dek, ni abang mau jemput nada ke sekolahnya dulu ya! kasian dia nanti kalo lama nungguin nya.” “iya yah hati hati ya” “iya sayaaaang, kamu juga hati hati ya, ayah love ibu so much, assalamualykum” “hihi love you too ayah sayang, iya waalaykusalam.”, dan tiba tiba ibu menambahkan bicaranya “yah, jaga nada ya selama aku gak ada di rumah.” tut tut tut telepon pun terputus sebelum ayah menjawab perkataan ibu yang terakhir tadi.
Begitupun selanjutnya ayah langsung menuju ke sekolahku untuk menjemputku pulang, lalu mampir sebentar ke warung makan untuk makan siang bersama.
Di perjalanan pulang tiba tiba handphone ayah berbunyi, di lihatnya telephon itu, “siapa yah?” Tanya ku, “ini kok ibu tiba tiba telepon lagi ya nak, padahal ayah kan baru aja telepon dia” “ya udah sini nada aja yang angkat”. langsung aja aku teriak “ibuuuuuuuuuu, kanapa tinggalin nada?” tapi yang kudengar bukan suara ibu, hanya suara gemuruh tidak jelas, dan sesekali sepertiku mendengar teriakan, bahkan tangisan. “Yah, coba ayah aja yang bicara, berisik banget nada gak denger apa apa” “ya sini, hallo assalamualaykum, dek, assalmualaykum sayang, hallo dek kenapa nggak jawab, halloo”, terus saja ayah mengulanginya tapi tak ada suara jawaban. “mungkin handphone ibu tadi kepencet nak, kata ayah mencoba menenangkan ku, meski aku sangat tau mukanya berubah seketika jadi panik.
Sesampainya di rumah seperti biasanya sepulang dari kantor ayah pasti menyalakan televisi. Betapa sangat terkejutnya ayah ketika melihat siaran lansung di salah satu stasiun TV yang memberitakan kecelakaan kereta api jurusan blitar yang kemungkinan besar ada ibu dan kak farhan didalamnya, Ya memang benar, ibu dan kak farhan ada didalamnya, tapi pertanyaannya adalah apakah mereka selamat?, seketika itu ayah tanpa pikir panjang membawaku kemudian melaju dengan kecepatan yang tak seperti biasanya menuju ke tempat dimana kereta itu mengalami kecelakaan.
Sungguh nyata perkataan ibu kepada ayah, secepatnya mereka akan bertemu, bahkan selang beberapa jam mereka dipertemukan kembali, tapi dalam keadaan ibu yang telah tak bernyawa, kak farhan juga begitu, ia benar benar istirahat panjang setelah sampai, ternyata maksudnya adalah saat sampai ajalnya tiba, sedih tak terkira rasanya. Aku kehilangan separuh jiwaku, bahkan pada bulan bulan awal kepergian ibu aku seperti mayat hidup yang tak berdaya, aku enggan menjalani hidupku kembali, rasanya aku ingin mati juga bersama ibu. Tapi ayah dengan sabarnya selalu berusaha menenangkanku, menghiburku, hingga sampai saat ini aku menjadi sangat tegar dan menerima dengan ikhlas apa yang telas digariskan Allah kepada keluarga kami.
Kembali lagi ke mimpiku untuk berkeliling dunia, melanjutkan study ke jenjang lebih tinggi, dan akhirnya menjadi wanita sukses, ayah masih saja kekeuh dengan pendiriannya, menentang keras permintaanku yang satu ini, hingga pada suatu ketika keluarlah dari mulutku, “yah, tujuan hidup nada cuman satu, ingin membahagiakan ayah, membalas semua kebaikan ayah, aku tak punya siapa siapa kecuali ayah, kalau nada menikah sekarang pasti fokus nada akan terpecah kepada suami nada, anak-anak nada kelak, dan juga kepada keluarga besar suami nada, ibu mertua, ayah mertua dan masih banyak lagi yah pastinya, dan sebelum itu semua, nada benar benar ingin membahagiakan ayah, tolong yah dukung nada untuk yang satu ini, kemauan nada besar sekali yah dan satu lagi, Nada sangat percaya bahwa jodoh sudah di atur oleh tuhan, tolong ayah jangan paksa nada untuk perjodohan ini”, dengan air mata yang tiba tiba mengalir deras juga perasaan lega akhirnya kata-kata ini yang sejak dulu ingin aku ucapkan akhirnya keluar juga dari mulutku. Tiba tiba ayah diam tanpa sedikitpun jawaban dan memelukku dengan sangat erat, seketika suasana berubah menjadi haru biru, ku lihat ayah yang ternyata sedari tadi ikut menangis sambil memelukku. “maafkan ayah nak, ayah yang salah, seharusnya ayah mendukungmu untuk mencapai cita cita yang kau inginkan, bukan malah memaksamu seperti ini, ternyata berusaha menjodohkanmu dengan lelaki pilihan ayah itu adalah ambisi ayah sendiri, kemarin ayah takut kamu akan salah melangkah dalam memilih pasangan hidup, ayah cuman ingin kamu mendapatkan yang terbaik, sekarang ayah sadar kalau jodoh tak akan kemana, kalau kalian berjodoh pasti saatnya tiba kalian akan dipertemukan, jodoh ditangan Allah, terimakasih nak telah menyadarkan ayah.”
Hatiku lega selega leganya karena satu pintuku telah terbuka, dan ternyata Allah telah mengatur semunya dengan sangat indah pada waktunya, lamaran beasiswa yang aku ajukan lima bulan yang lalu ke salah satu perguruan tinggi di Australia terjawab sudah. Dan taukah engkau apa jawabnya? “Aku diterimaaaaaaaa”, puji syukur ini tak henti hentinya ku ucap, dari dua ribu pundaftar hanya di ambil sepuluh orang, dan akulah salah satuya. aku bukan orang yang pintar, hanya saja Allah adalah Sang Maha Pemurah kepada setiap hambanya. Allah sangat baik kepadaku hingga Beliau memberiku semua ini. sunguh beruntung, ya aku merasa menjadi orang yang sangat beruntung di dunia ini. “Ya robb terimakasih” ini sungguh di luar dugaanku, selainku bisa melanjutkan study, ini juga menjawab mimpiku yang kedua untuk berkeliling dunia.
Ku kabarkan pada ayah berita yang sangat menggembirakan ini, ayah lantas menghubungi Mas Teguh Iman Mahadi dan pula menceritakan semuanya, tentang rencanaku untuk melanjutkan belajarku di Australia, aku tercengang mendengar jawaban yang di lontarkan Mas Teguh pada ayah, “Alhamdulillah, demi Allah saya ikhlas om, saya justru sangat mendukung keputusan Dek Nada untuk melanjutkan belajar.” “lantas bagaimana rencanamu kedepan Nak Teguh? kamu boleh menikahi siapa saja, kamu bebas. Om telah ikhlaskan seandainya kamu menjadi menantu orang lain.” “he he he Om ini bisa saja, insyaallah saya akan bisa menunggu Dek Nada sampai ia menyelesaikan belajarnya, saya justru bangga padanya, dan semakin mantap hati ini terhadapnya Om.” “subhanallah memang kau anak yang baik, tak salah kalau Om kemarin ngotot untuk menjadikan mu sebagai menantu Om.” “aduh teguh jadi malu Om bilang seperti itu.” “lantas apa rencanamu kedepan nak?” “insyaallah teguh mau melanjutkan study ke jenjang selanjutnya Om.” “oh bagus sekali, Om dukung seratus persen nak,hehehe” “trimaksih Om atas dukungannya.”
Mendengar jawaban Mas Teguh yang mau menungguku sampai aku menyelesaikan belajarku di Australia. Bagiku ini aneh, tiba tiba saja perasaan ini muncul, aku tak tau kenapa hatiku bisa berubah dengan begitu cepatnya, sejak saat itu kuasa aku benar benar mencintainya, dan kini aku merasa tak mau kehilangan dia, sungguh aku sangat yakin bahwa dia adalah imam yang sangat pas untukku, bisa membimbingku menjadi lebih baik, ayah memang sangat pintar memilihkan nya untukku.
Sejak saat itu aku semakin sering berkomunikasi dengan Mas Teguh, semakin akrab dan sangat akrab, hingga pada hari itu aku harus berangkat ke Australia, ayah bersama Mas Teguh lah yang mengantarkanku sampai ke Bandara, rasa bahagia karena akhirnya apa yang aku dambakan bisa terwujud, bercampur dengan sedih karena harus meninggalkan tanah air dan ayah tercinta, pula harus meninggalkan dia sang pujaan hati. Tapi rasa semangatku ini mengalahkan semuanya, hasrat untuk merealisasikan citi-cita pun semakin menggebu, aku sangat yakin bahwa aku bisa!!!.
“Australiaaaaa indah sekali kau, terima kasih tuhan telah kau izinkan kau memijaki tanah asing ini”. Ya aku sampai di Australia. Pulau terbesar di dunia, tetapi merupakan benua terkecil dari semua benua-benua yang ada, dan taukah kamu dua puluh persen dari penemuan ilmiah di dunia berasal dari Australia. kata orang-orang gelar atau ijasah yang diperoleh dari Universitas di Australia telah diakui oleh seluruh dunia. Di sana tepatnya aku tinggal di Sidney, aku punya orang tua angkat, Mr. Bob yang sangat ramah dan Mom Greeta yang begitu cantik dan baik hati, juga Judith anak perempuan kecilnya yang lucu, aku di sambut hangat oleh keluarga ini, dengan cepat aku bisa menganggap mereka layaknya keluarga sendiri.
Aku juga senang dengan situasi belajar di sana, di dukung pula oleh teman teman yang semuanya well come kepadaku, seminggu sekali aku menghubungi ayah yang berada di Indonesia. Dan menceritakan semuanya. Juga mas teguhku, dia semakin sejuk di hati, bicaranya yang kalem dan santun membuatku tenang di buatnya. Tapi aku tak tahu kenapa tiba tiba di awal tahun ke tigaku ini dia berubah. “Apa aku punya salah? tapi tenang aja mas aku akan selalu mencintaimu, sampai kapanpun, meski di sini banyak bule bule cakep, masih hanya kamu yang ku damba”. Kira kira seperti inilah pesan yang kukirimkan untuknya melalui ponselku. “maaf ya dek!”, jawaban yang begitu singkat namun aku paham apa maksudnya, mungkin dia sedang sibuk atau mungkin kelelahan dengan aktivitasnya, sejak saat itu komunikasi dengannya mulai punya jeda yang panjang, dan tak terhitung sering lagi, aneh memang, tapi kupikir ini mungkin cara yang terbaik untuk menjaga dan menguatkan rasa sayang pula rindu di antara kita.
Empat tahun pun akhirnya telah terlewati dan Alhamdulillah aku telah lulus dari Universitas ini dengan nilai yang lumayan lah, cukup memuaskan pula tidak memalukan. senang sekali rasanya sebentar lagi akan pulang ke Negara halamanku Indonasia.
Pulang, akhirnya aku pulang juga ke Indonesia tercinta, pagi-pagi sekali aku sampai di Bandara Adi Sucipto Yogyakarta. Ku lihat ayah dari jauh memanggilku dengan penuh suka cita, di situ kulihat ada ayah, kakek, nenek, dan beberapa saudara, ada juga tetangga samping rumah yang ikut pula menjemputku. Aku bahagia sekali melihat senyum mereka yang berbinar-binar sambil sesekali menunjuk ke arahku. aku melambaikan tangan lalu tersenyum membalas tatapan-tatapan merdu mereka. Degg, hatiku tiba-tiba berdesir, “tapi kenapa tak kulihat di antara mereka pujaan hatiku, mas Teguh Iman Mahadi?, ah mungkin saja dia sedang sibuk.”
Kusalami semua orang yang menjemputku, ku peluk ayah dengan erat, dan tangis terpecah di antara kita karena bahagia, bahagia sekali bisa berkumpul dengan sanak saudara. Sesampainya di rumah langsung kubuka tas besarku dan ku keluarkan semua jenis oleh-oleh yang kubawa dari Australia.
Pada malam harinya aku dan ayah duduk berdua di teras rumah, sambil memandang bintang bintang yang sangat indah berkerlip di langit, suasana tenang dan sunyi. “yah, kenapa tadi Mas Teguh tidak ikut bersama menjemput Nada?”, tiba tiba raut wajah ayah terlihat bereda, seperti ada yang ingin ia sampaikan, “nak, masihkah kau mencintai nak teguh?” “kenapa ayah bertanya seperti itu?, masih lah yah, bahkan sangat mencintainya.” “ayah mau cerita sama Nada, tapi janji ya gak boleh marah sama ayah atau siapapun setelah ayah cerita ini!” “cerita apa sih yah? Nada jadi panasaran, iya iya Nada gak bakalan marah ke siapapun, Nada janji!”
Dan tau kah kamu apa yang bakal di ceritakan ayah pada malam itu?, sungguh berita ini membuatku hancur sejadi jadinya, air mata nenetes begitu derasnya, tiada bencana yang menyedihkan, tiada luka yang menyakitkan tapi kecewa karena cinta. “Nak, sebenarnya nak Teguh sudah mengatakan ini tepatnya setahun yang lalu saat kau masih di Australia, bahwa dia minta maaf sebesar besarnya karena telah menghianatimu, nak teguh cerita banyak dengan ayah tentang kegundahannya ini, dia mencintai seorang gadis teman kuliahnya namanya Shofia, dia juga tak menyangka kenapa tiba tiba saja ia begitu jatuh cinta dengan Shofia ini, waktu itu dia juga bilang sama ayah untuk mau menceritakan apa yang sedang ia gundahkan kepadamu, tapi ayah menolaknya. Ayah tau kau begitu mencintainya, ayah takut ini akan sangat menyakitkanmu. Dan menjadikan konsentrasi belajarmu buyar oleh kekecewaan. Dia sudah menikah dengan shofia tiga bulan yang lalu.” “kenapa ayah membiarkannya?, padahal ayah tahu kalau Nada benar benar mencintainya.” “maafkan ayah nak, ayah ingat kata katamu waktu itu bahwa jodoh telah di atur oleh tuhan, dan tak bisa dipaksakan, bagitupun ayah tak mungkin melarang nak Teguh untuk mencintai wanita pilihannya itu.” “tapikan yah…” “Nada Kamila Fajrina anak ayah tersayang, tolong jangan egois nak, mencintai itu tidak harus memiliki, dan ayah yakin tuhan akan memberikan yang lebih baik untukmu. bahkan jauh lebih baik, kamu percaya itukan?. Aku mengangguk pelan sambil menangis sesenggukan di samping ayah, lalu aku masuk ke kamar meninggalkan ayah tanpa mempedulikan panggilannya. Tangis kutahan dihadapan para saudara yang memang sedari tadi sedang menonton TV di ruang tengah.
Hingga tak ada lagi celah hati yang kosong,
Semua telah terisi penuh tentang cinta untukmu,
Dan berapa banyak air mata yang menetes karenamu,
Harapan agar kau berada satu shof didepan ku, itu hanya mimpi,
Ternyata, ketulusan cintaku tiada pernah kau anggap ada,
Tuhan, beri aku petunjuk tuk memperoleh sirnanya,
Setelah berjam jam merenung, akhirnya hanya rasa tak pantas untuk bersanding dengannya lah yang bisa kujadikan sebagai penutup lara hati ini, mungkin dia terlalu baik jika untukku, berkali kali kupaksa hatiku untuk menerima kenyataan ini, Menegaskan dengan keras kepada diri sendiri bahwa aku memang bukan jodohnya.
Satu minggu setelah itu, ayah mendapatkan kabar bahwa istri mas Teguh sedang di rawat di rumah sakit karena penyakit demam berdarah. Ayah lantas mengajakku untuk ikut serta menjunguknya. Di rumah sakit itu adalah pertama kalinya ku menatap wajahnya setelah kepulanganku dari Australia, masih saja sejuk di mata, sejuk pula di hati, tutur katanya masih sama sopan dan halus. “dek nada?” dia seperti tak percaya akan kedatanganku siang itu, ku lihat ada sedikit rasa bersalah dari sorot matanya, “kapan kamu pulang dari Australia dek?”, Tanya nya gugup. “seminggu yang lalu mas.” Jawabku singkat. Ayah memegang tanganku erat, seakan akan ia berbisik, “tegarlah nak, ikhlaskan dengan keikhlasan yang seikhlas ikhlasnya bahwa dia bukan jodohmu”. Kupandangi istrinya yang sedang tidur dengan selang infus di tangannya, mangenakan jilbab hijau yang di urai ke bahu, parasnya cantik dan tak bosan di pandang. “Beruntung sekali Mas Teguh Iman Mahadi ini mandapatkan istri secantik kak shofia”, batinku semakin ikhlas melepasnya setelah memandangi wanita cantik di hadapanku itu…
Ditulis Oleh : Unknown
Artikel
Gelap Terang Senyuman
ini ditulis oleh
Unknown
pada hari
Senin, 03 Juni 2013
. Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang
Gelap Terang Senyuman
dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.
Langganan:
Posting Komentar
(RSS)
hmm beruntung banget yaa suaminya mendapatkan istri secantik ituu
BalasHapusObat Untuk Sakit Raja Singa ? Segera Hubungi Kami Dan Pesan Obatnya Sekarang Juga di Fast Respond : 087705015423 PIN : 207C6F18.
BalasHapusmenyentuh bgt cerita nya
BalasHapusbagus banget ceritanyaa
BalasHapusNitip pasang backlink ya bro....
BalasHapusAgen Togel Terpercaya | Agen Togel Online | Agen Bola Online | Agen Bola Indonesia| Agen Judi Bola | Agen Bola Terbaik | Cara Daftar Sbobet
Agen togel
Bandar togel