“Untung kamu sudah datang, pembukaan lomba bentar lagi mulai tuh.” Pak Sartono – guru agama di SMP 2 Mataram tempat aku sekolah – mengomeliku yang datang tergopoh-gopoh berlari kecil dari gerbang sekolah.
“Maaf pak telat, yang lain sudah datang?”
“Sudah ada Imam sama…”
“Eh kak Fer udah dateng.” Suara Imam memecah ucapan Pak sartono, aku tak mendengar nama siapa tadi yang disebutnya. “ah Imam, ayo dah dimana tempat pembukaannya? Langsung saja kita kesana?.” Aku menarik tangan Imam mengajaknya ke tempat pembukaan. “tunggu Anggun dulu kak.” Imam melepaskan tangannya dari genggaman. “eehh, siapa Anggun?” aku heran.
“Kakak ini tau tim kita gak sih? Kan cerdas cermat dimana-mana bertiga kak.” Imam menunjuk ke arah anak yang sedang duduk di bawah pohon mangga.
“Anggun cepet!” Imam melambaikan tangan kepada anak itu.
“Iya kak tunggu.” Anak itu berdiri dan berlari ke arah kami.
Namanya Anggun, Anggun Aprillia Sani. Ini awal cerita aku mengenalnya. Seorang anak kecil yang cantik, lucu, imut – pipinya tembem kayak bakpao – anak yang ceria dan manis. Kami saat itu mengikuti lomba MFQ – Musabaqoh Fahmil Qur’an, lomba cerdas cermat dalam bidang agama Islam. Kami satu tim. Imam dari kelas 8A: aku, Ferry, Firyal Dhiyaul Haqqi – tak ada unsur kata ‘Ferry’ dalam nama lengkapku, semua bertanya begitu, aku tak tau – dari kelas 9H: dan dia, Anggun dari kelas 7A.
“Maaf kak lama.” Wajah ceria itu tersenyum manis padaku. “oh iya gak apa-apa kok.” Aku balik tersenyum padanya. “ayo kak.” Imam balik menarik tanganku sekarang.
Lomba itu diadakan di SMP 1, lokasinya di sebelah SMP kami. Saat itu kami mendapatkan juara 1. Dan lolos ke tingkat kota.
“Selamat nak.” Pak sartono menyambut kami di luar ruangan.
“Alhamdulillah tadi dapet soal yang gampang karena Anggun yang milih soalnya.” Imam terlihat sumringah setelah keluar dari ruangan lomba.
“Iya tadi sistemnya kita dikasih pilihan soal dalam amplop. Tiap regu ngambil 1 soal. Terus yang ngambil Anggun. Waaahhh memang beruntung banget.” Aku menjelaskannya pada Pak Sartono yang tersenyum melihat kami mendapatkan juara. “Iya bapak sudah tau kok Fer, gak perlu kamu jelasin.” Pak sartono menepuk-nepuk bahuku. Anggun hanya tersenyum. Rupanya dia masih malu dengan kakak-kakak kelasnya. Maklum lah, dia kan masih anak kelas 7. Padahal baru saja kita berada dalam satu tim.
Di tingkat kota, kami mendapatkan juara 3, walaupun Anggun kembali mengambil soal yang gampang, tapi lawannya pintar-pintar semua. Maklum lah mereka dari sekolah Madrasah. Mendapatkan juara 3 membuat Imam sedikit sedih, mungkin dia merasa bersalah karena dia yang menjadi juru bicara tim kami, dia merasa bertanggung jawab, tapi ini kan perlombaan tim, jadi tak ada yang bisa disalahkan, kemenangan adalah kemenangan tim, dan kekalahan juga adalah kekalahan tim. Aku mengungatkan Imam. Anggun juga terlihat masam. Lomba itu selesai sore hari. Kami berfoto-foto dengan tim finalis untuk dimuat di koran Lombok Post. Hari itu terasa panjang. Walau kecewa, kami setidaknya telah melakukan yang terbaik, bagi tim kami, dan bagi sekolah kami.
Setelah hari itu, kehidupan sekolah kembali berjalan seperti biasa. Lomba telah usai, dan kebiasaan sekolah kami adalah mengumumkan hasil lomba-lomba yang diikuti murid-murid setelah upacara hari senin selesai. Kami bertiga maju. Aku bertemu Anggun lagi saat itu. Dia tersenyum manis menyapaku, “Hai kak, lama gak ketemu, hehe.” Pagi itu cerah, dan sapaannya tadi menambah keceriaan di pagi itu.
“Kak Fer!” Imam datang dari arah barisan sebelah selatan.
“Anggun, Imam.” Aku tersenyum pada mereka yang menyapa dengan hangat.
Hari itu kami terlihat hebat di sekolah kami, maju ke depan, disaksikan semua warga sekolah untuk diberikan piala sebagai simbolisasi, karena piala itu akan dipajang di lemari piala sekolah.
Setelah Senin yang membanggakan itu, aku jarang bertemu mereka. Aku juga sibuk persiapan ujian nasional. Aku sudah kelas 9. Saatnya fokus untuk bisa masuk ke SMA impianku, SMA Negeri 1 Mataram. Siapa yang tak mengidam-idamkan SMA itu? Berisi anak-anak terbaik se-pulau Lombok. Anak-anak pilihan. Betapa bangganya mengenakan seragam khas SMA itu. Juga karena kakakku yang sudah lebih dahulu berada disana menjadi lecutan semangatku. Karena selama ini aku selalu mengikuti jejaknya. SD sama, SMP juga, dan SMA harus bisa sama dengannya.
Sebulan berlalu, kembali ke kehidupan normal. Bersama teman-teman sekelas yang gila-gila. Teman sebangkuku yang bernama Adit – dia playboy, sangat playboy, muka sih biasa-biasa aja, standar lah, gantengan juga aku – bercerita-cerita di waktu jam istirahat. Dia cerita kalau dia baru aja mutusin pacar barunya – mutusin pacar baru? Gila ni anak – yang anak kelas 7D, namanya Rina, aku kenal dia. Selama dia pacaran sama si Playboy Adit ini, dia sering curhat sama aku. Secara gitu dia tau kalau aku teman sebangkunya Adit.
Apalagi setelah dia diputusin sama si Adit, Rina jadi temen sms-anku tiap malam. Dia curhat, galau katanya, maklum anak SMP rentan galau. Putusnya dia sama Adit buat saya sama Rina jadi deket – hubungan kakak-adik apa lah namanya – karena aku sudah nganggap dia sebagai adik sendiri. Kasian anak itu, rupanya terlalu cinta sama yang namanya Adit. Dasar playboy.
Aku sering main-main ke kelasnya Rina. Entah kenapa, setelah dekat dengan dia, sepertinya rasa suka’ muncul. Setelah dari kelas 7 sampai kelas 9 semester 1 aku jatuh cinta dengan seorang anak blasteran arab bernama Ismi, sekarang move ke anak kelas 7D ini. Tapi Rina ternyata suka’ sama temenku, temen aku SD, namanya Hadi. Galau, itu tema aku setiap malam – sekali lagi, anak SMP rentan galau.
Hingga suatu hari, aku sama Hadi main-main ke kelasnya Rina. Itu jam istirahat. Melihat Spendu – nama singkat SMP 2 – dari atas lantai 2.
“Hei dek!” itu Anggun, aku menyapanya setelah melihat dia jalan bersama temannya menuju ke arahku.
“Iya kak?” dia tersenyum manis seperti biasa.
“Nnnggg… Boleh minta nomer HP gak?” aku gak tau apa yang ada dipikiranku saat itu, tiba-tiba bisa ngomong to the point gitu. Aku sendiri bingung. Itu kan pertemuan pertama setelah lama gak bertemu dia.
“Boleh kak.” Anggun mengangguk tersenyum malu.
“Di, tulisin dong nomer HP-nya Anggun nih.” Hadi yang memegang Handphone-ku langsung mencatatnya.
“Makasi ya dek.” Aku tersenyum padanya. “iya kak.” Anggun balas senyum. Lalu pergi bersama temannya.
Semenjak aku dan Anggun bertemu kurang lebih sebulan yang lalu di acara MFQ, aku tak tahu nomer HP Anggun, tak pernah terlintas untuk memintanya saat itu. Entah kenapa tadi begitu tiba-tiba, terjadi begitu saja. Perasaan di Rina masih ada, tapi di Anggun ini apa namanya? Lagi-lagi, SMP masa yang rentan galau.
Rupanya si Adit itu telah menemukan pengganti si Rina, langsung, dia kan playboy. Aduh, tak kepikiran aku jadi orang yang kayak dia, kok bisa? Aku juga harus berenti suka’ sama Rina. Harus belajar dari Adit. Di sini banyak kok cewek yang manis, berjilbab, solehah. Jadi sebenarnya gampang lah buat move on. Toh ada Anggun. Aku juga sebenarnya lagi deket sama cewek anak kelas 9F, namanya Ayu. Dia cantik, baik, dan yang paling penting, dia juga suka’ sama aku. Aku curhat sama Ayu tentang Rina, tak tau lah apa yang dia rasain waktu aku curhat ke dia tentang Rina. Tapi Ayu adalah pendengar yang baik. Mungkin hatinya sakit, aku tak tau.
Ada juga cewek yang buat aku tertarik waktu itu, namanya Aini. Anak kelas 9I. Dia awalnya kelas 9G, waktu ada program perluasan kelas, dia dipindah. Tapi perasaan itu hanya rasa suka yang biasa. Karena dia manis, cantik, putih, tembem, berjilbab. Jadi suka’ aja ngeliatnya. Ya, itu tipe cewek aku. Tapi aku tak kenal dengannya. Malu aku berkenalan. Jadi lupakan.
Malam hari terasa sepi. Yang awalnya selalu ditemani Rina, sekarang dia sudah bersama Hadi. Aku teringat dengan Anggun. Kuambil HP. “Assalamu’alaikum. Anggun, gimana kabarnya?” ini sms pertama aku ke Anggun. Maaf, walaupun masa SMP masa yang dibilang Alaayy, tapi aku tak se-alay yang kalian kira. Aku nulis sms biasa aja kok.
“Wa’alaikumsalam, ini siapa ya?” tak lama Anggun menjawab sms itu.
“Ini kak Ferry, masi inget kan?”
“Ooohhh, kak Feeerrryyy, apa kabar kak? Anggun baik-baik aja! ” terlihat Anggun begitu senang menerima sms dariku. Bukannya kePD-an. Tapi keliatan kok dari caranya membalas sms. Ceria sekali.
Aku juga cerita semua tentang Rina ke Anggun. Dan dia mengatakan, “Aku ada disini kak, sama kakak, akan aku buat kakak ngelupain Rina.” Jawaban itu buat aku tenang. Senang bisa kenal dengan Anggun. Hari-hari menjadi lebih berwarna sejak kedekatan kami. Aku jadi bisa melupakan Rina, total bisa melupakannya. Aku suka sama Anggun. Aku gak mau kehilangan dia. Aku sudah menganggap seperti adik sendiri. Dia juga demikian, menganggapku seperti kakak kandungnya sendiri.
“Kak kita buat janji yuk?” Anggun mendengarkan sebuah lagu kepadaku. “Ini lagu kita kak.” Anggun tersenyum. Aku terdiam. Mendengarkan lagu itu. “Kakak janji ya bakalan selalu ada, ngejaga Anggun, janji ya” Anggun mengulurkan jari kelingkingnya tanda kesepakatan. “iya kakak janji dek.” Dia tersenyum lebar mendengarnya.
Janji itu masi teringat sampai saat ini. Setiap mendengar lagu itu, aku mengingat Anggun. Mengingat uluran jari kelingkingnya yang meminta kesepakatan.
Aku mendapatkan impianku, mendapatkan SMA 1 Mataram. Yang artinya aku harus pisah dengan Anggun. Tiga bulan masa kedekatan di bangku SMP dengan Anggun. Dan kini aku memulai dunia baru. Dunia SMA. Walaupun sudah berada di bangku SMA, hubungan aku dengannya lancar-lancar saja, komunikasi tak pernah putus. Bahkan kami sesekali pergi jalan-jalan berdua.
Dua bulan berlalu terjadi lost contact di antara kami. Entah kenapa aku berpikir ada yang berubah dari Anggun. Aku tak tahu apa penyebabnya. Hingga saat itu.
“Kak, Anggun capek, sakit hati sama seorang cowok.” Sms itu masuk ke HP-ku.
“Kenapa dek? Siapa?”
“Anggun mau pindah sekolah aja, Anggun mau ke Jakarta. Pindah ke sana.” Aku terkejut membaca sms itu. Tanpa menjawab sms itu aku menuju rumah Anggun untuk mencari kejelasannya langsung.
“Assalamu’alaikum, Anggun.” Lama menunggu pintu itu terbuka. “wa’alaikumsalam” itu bukan Anggun, itu Faras, kakaknya. Aku tau Faras tak setuju aku dekat dengan Anggun. Karena dia sahabatnya Ayu – kelas 9F juga, jadi dia menganggap aku akan mempermainkan adeknya. Raut wajahnya tak bersahabat, tapi dia berbaik hati memanggilkan Anggun untukku. “Anggun, ada Ferry tuh!”
Malam itu aku mendapatkan kejelasan yang membuatku terkejut. “Kak, Anggun capek nunggu.” Aku heran. “Anggun pengen denger kalimat itu dari kakak.” Tunggu dulu, aku semakin bertanya-tanya. Ini ada apa sebenarnya? “Ada apa dek?”, “Anggun suka sama kakak, Anggun mau jadi pacar kakak, Anggun mau denger kakak bilang cinta ke Anggun.” Aku terperanjat. Bagaimana tidak, seumur-umur baru Anggun yang mengungkapkan perasaannya langsung ke aku. Aku terdiam. Aku menatap matanya yang berkaca-kaca. Alisnya mengkerut. “Terus jadi mau pindah ke Jakarta? Cuma gara-gara itu?” aku berusaha tersenyum seolah mengajaknya ikut tersenyum juga. Kepalanya tertunduk dalam diam. “Dek, kakak gak mau pacaran sama Anggun, Anggun sudah kakak anggap sebagai adik kakak sendiri. Iya kakak suka juga sama Anggun, kakak akui itu, tapi kakak gak mau pacaran sama Anggun. Gak bisa dek. Maaf.” Anggun semakin terdiam. Dia mengangkat wajahnya. Dia tersenyum, meski air mata jatuh di pipinya. Itu senyum terakhir yang aku lihat. “Kakak pamit dek. Maaf ya.” Aku tak tau bagaimana perasaan Anggun waktu itu, yang jelas pasti sakit.
“Dek jangan nangis.” Aku berusaha tersenyum padanya. Dia membalas senyumku. Ya Allah apa yang aku perbuat malam ini. Malam terlihat gelap – meski umumnya malam memang gelap – tapi malam itu terasa lebih gelap dibanding biasanya. Aku pamit ke Anggun. Di tengah jalan terbayang terus senyum manisnya tadi. Apa aku menyesal? Sepertinya tidak. Jalanan itu terasa panjang dan lenggang.
Setelah kejadian itu, aku kembali lost contact dengannya. Sebulan berlalu dan aku mendengar kabar bahwa dia kini berpacaran, dengan seorang yang non-muslim. Saat itu aku benar-benar menyesal. Aku merasa tak sanggup menjaga adik sendiri, tak sanggup menjaganya. Kemana janji itu? Apa aku melanggarnya? Atau Anggun yang membuatku untuk melanggar janji itu?
Satu semester sudah berlalu. “Fer, ada kabar bagus.” Naufal – sahabat baikku – memanggil sambil menunjukkan sms yang ada di HP-nya. Aku cerita semua tentang Anggun padanya. Dia sahabat yang baik. Dari keluarga seorang hakim dan dokter. Tanpa semua sadari – termasuk dia – aku dan Naufal jatuh cinta dengan perempuan yang sama saat itu, teman sekelas kami. Perempuan yang familiar, tak asing bagiku. Tapi aku tak mau membahasnya disini. “Ada apa fal?” aku penasaran. “Anggun mau balik ke kamu katanya!” Balik? Aku heran. “Iya dia mau minta maaf ke kamu. Katanya dia ngerasa kehilangan kakaknya. Berita bagus bro!” tak kepalang tanggung senangnya aku saat itu. Itu adalah titik balik hubungan aku dengannya nyambung lagi.
“Kak, maaf ya, Anggun kehilangan kakak. Kakak masi inget kan sama janji kita? Terus terang Anggun sakit hati malam itu, mangkanya berpikir pendek dan mau pergi dari kakak. Anggun bohong bilang mau pindah ke jakarta, karena emang gak tahan.” Panjang lebar sms Anggun itu. Aku senang dia akhirnya mengerti. “Iya dek, gak apa-apa kok, kakak juga minta maaf ya.”
Sudah 3 tahun kedekatanku dengan Anggun tanpa ada perselisihan apapun. Hubungan yang adem-ayem. Kini aku berada di bangku kuliah. Masuk di Unram Fakultas MIPA jurusan Fisika. Anggun yang berusaha ingin masuk ke SMA 1 harus gagal dengan usahanya. Dia memang sedih. Tapi bukan Anggun namanya kalau larut dalam kesedihan. Dia sekarang di SMA 2 – Smanda, duduk di kelas 11. Sudah lama hubungan kakak-adik ini berjalan. Teman, hubungan adik-kakak ini cuma ada di Indonesia, tak tau lah seperti apa itu hubungan kakak-adik, tapi seperti inilah yang aku jalani dengan Anggun. Kalian yang ada di Indonesia pasti pernah mengalaminya juga.
Kemarin malam aku menelepon Anggun. Dia berceloteh, bercerita tentang masa SMA-nya di Smanda. Aku kangen mendengar suaranya, mendengar keceriaannya. Senang sekali bisa mendengar suara ribut itu. Ahahaha.. Tak terasa hidup ini berjalan begitu cepat. Anggun sudah memiliki dunianya bersama sahabat-sahabatnya. Janji itu tetap ada, dan tetap kami ingat. Malam itu terasa panjang, curhat-curhatan, ketawa bareng, saling olok-olokan. Walaupun hanya lewat telepon, tapi hangatnya terasa. Keceriaan Anggun yang dulu aku kenal sangat terlihat.
“Dek, tunggu dulu, coba denger deh.” Samar terdengar sebuah lagu terputar di radio yang berdiri di atas meja belajar krem di samping kasur. “Ini lagu kita.”
Memandang wajahmu cerah
Membuatku tersenyum senang
Indah dunia
Tentu saja kita pernah
Mengalami perbedaan
Kita lalui
Tapi aku merasa jatuh terlalu dalam
Cintamu…
Ku tak akan berubah
Ku tak ingi kau pergi
Slamanya
ku kan setia menjagamu
bersama dirimu,dirimu
sampai nanti akan slalu
bersama dirimu
Saat bersamamu kasih
Ku merasa bahagia
Dalam pelukmu
Ku tak akan berubah
Ku tak ingin kau pergi
Slamanya…
seperti yang kau katakan
kau akan slalu ada
menjaga, memeluk diriku
dengan cintamu
Teringat kembali janji itu, saat-saat itu, masa-masa kedekatan aku dengan Anggun di SMP dulu. Anggun, justru karena aku suka sama kamu mangkanya aku gak ingin berpacaran denganmu. Karena aku tak ingin berpisah denganmu mangkanya aku menolak malam itu. Kita masih SMP saat itu, masa paling labil di dunia. Masa yang rentan galau dan belum dewasa. Anak-anak SMP itu berpikiran pendek. Tak kan ada hubungan pacaran yang akan bertahan lama. Tak ada. Pasangan yang berpacaran, jika sudah putus, pasti ujung-ujungnya bermusuhan, gak saling sapaan, terus pisah deh. Tak ada kelanjutannya. Karena itu aku gak mau pacaran sama Anggun. Karena aku gak mau kehilangan dia.
Jika kamu menyukai seseorang, tak mesti mengaplikasikannya dengan sebuah hubungan pacaran. Simpanlah jika itu memang yang terbaik bagimu, kelak ungkapkan perasaan itu melalui janji suci jika sudah datang waktu yang tepat.
Cerpen Karangan: Firyal D. Haqqi