Kumpulan Artikel Menarik , Tips Bermanfaat Serta Bacaan Yang Menghibur

ENTRI POPULER

Home » » Di Bawah Rinai Hujan

Di Bawah Rinai Hujan

Share on :


Aku mendongak menatap langit. Tersenyum seiring dengan titik-titik hujan membasahi bumi ini. Tanpa kuhiraukan tatapan-tatapan orang, aku berputar seirama dengan titik-titik hujan yang semakin lama semakin deras. Aku memejamkan mata, mencoba meresapi karunia Tuhan ini. Siluet-siluet kejadian beberapa bulan yang lalu mulai berdatangan dipikiranku.
18 Desember 2009
Aku bersenandung kecil saat ku mulai melangkahkan kaki di koridor sekolah. Setiap orang tersenyum ke arahku. Seolah ikut merasakan kebahagiaan yang sedang kurasakan. Kemarin siang adalah hal yang tak mungkin kulupa. Seseorang yang telah lama ku suka, menyatakan cintanya di cafe langgananku. Ternyata, ia memang sengaja mengikutiku. Aah, Tuhan! Aku bahagia sekali hari ini.
“Ify!” kutolehkan kepala, bermaksud mengetahui seseorang yang telah memanggilku tadi.
“Eh, Via. Kenapa, Vi?” aku tersenyum padanya. Via terlihat menggigit bibirnya. Ia sepertinya ingin mengucapkan sesuatu.
“Emm” dia mengulurkan tangannya. Ragu-ragu, kubalas uluran tangan itu.
“Selamat ya!” lagi-lagi ia membuatku bingung.
“Buat?”
“Buat jadiannya kamu sama Cakka” aku menganggukkan kepala sembari tersenyum lebar kepadanya.
“Iya, makasih ya Via” Via mengangguk.
“Emm, aku duluan ya, Fy! Bye” aku hanya menganggukkan kepala. Lalu kulanjutkan perjalanan menuju kelasku. Sebenarnya, aku sedikit bingung dengan tingkah Via tadi. Ya, ia tak sekelas denganku. Namun, kuketahui dia dekat dengan Cakka, kekasihku.
21 Desember 2009
Semenjak kejadian 3 hari yang lalu, aku dan Via semakin dekat. Entah, aku merasa nyaman berteman dengannya. Dan sudah hari hubunganku dan Cakka berjalan. Aku semakin menyayanginya.
Fy, sorry. Hari ini kita nggak bisa ketemuan. Aku ada latihan basket dadakan hari ini. Maaf ya!
Aku menghembuskan napas pasrah. Dengan gerakan cepat, aku membalas pesan singkat dari Cakka itu.
Iya, nggak papa kok, Kka! Kapan-kapan kan bisa ?
Setelah membalas pesan singkatnya itu, kumasukkan kembali handphoneku di dalam saku kemeja. Tak lama, aku merasakan bahuku di tepuk seseorang. Refleks, aku menoleh, mendapati Via berdiri di hadapanku.
“Fy, maaf ya! Hari ini aku nggak bisa nemenin kamu ke toko buku. Aku mau nemenin nenek aku ke rumah sakit. Maaf ya” bisa kulihat raut wajah menyesal tergambar di wajahnya. Aku hanya mengangguk sambil tersenyum tipis.
“Aku pergi dulu, Fy. Sekali lagi, maaf ya!” aku lagi-lagi hanya bisa mengangguk. Lalu berjalan lesu ke jalan raya. Menunggu jemputan datang.
28 Desember 2009
Seminggu telah berlalu. Entah aku yang terlalu peka, atau memang begitu adanya, seminggu ini Via dan Cakka terlihat aneh. Mereka selalu berusaha menghindariku. Saat janji telah terucap, mereka pasti selalu membatalkannya.
Tangan kananku terangkat menutupi mulut yang refleks terbuka saat melihat pemandangan yang sungguh membuatku ingin terbang ke langit dan tak kembali ke bumi ini lagi. Aku melihat Cakka dan Via sedang berhadapan dan Cakka mencondongkan wajahnya ke arah wajah Via! Tuhan, angkat aku ke langit. Jangan biarkan aku kembali ke bumi lagi! jeritku dalam hati.
“Bagus ya, kalian! Selama ini menghindariku karena ini? Bagus Via, setelah kau membuatku nyaman berteman denganmu, kamu melakukan ini padaku?” airmata perlahan jatuh di kedua pipiku.
“Fy” Cakka mendekat ke arahku. Aku bergerak mundur.
“Stop!” teriakku kencang. Cakka terlihat kaget.
“Kka, kamu tahu? Sejak dulu aku udah suka sama kamu. Saat kamu nembak aku, aku bahagia banget! Aku berharap kamu juga ngerasain sama kayak aku. Tapi, ternyata aku salah. Aku salah udah nilai kamu selama ini. Dan aku mau kita…” airmata semakin deras merebak dari kedua mataku.
“Putus” lanjutku berat.
“Ify, maafin aku, Fy. Ini nggak kayak yang kamu lihat, Fy. Percaya sama kita, Fy! Percaya” ucap Via sambil menangis. Aku tak memperdulikan tangisannya. Aku kecewa pada mereka. Ya, kecewa.
“Kamu, Vi. Dan kamu, Kka! Mulai sekarang, jangan pernah hubungi aku lagi dan jangan pernah nampakin diri di hadapanku lagi” aku langsung berlari sekuat tenaga meninggalkan tempat itu.
Hujan yang mulai turun membuatku berhenti melangkah. Ku hapus airmataku kasar. Baru kusadari, ternyata aku ada di sebuah taman di atas bukit kecil yang terdapat sebuah danau buatan kecil. Samar-samar, karena tertutup air hujan, aku melihat seorang pemuda berjalan menuju ke arahku. Aku bergerak mundur.
“Gabriel” pemuda tadi mengulurkan tangannya padaku. Ragu-ragu ku terima uluran tangan itu.
“I-ify” jawabku gugup.
“Jangan takut, gue bukan orang jahat kok” ia tersenyum. Membuat aku ikut tersenyum.
“Kita neduh di situ yuk!” ajak Gabriel sambil menunjuk sebuah gubuk kecil yang terletak di tepi danau. Aku hanya mengangguk. Gabriel menarik tanganku lembut. Membuat mataku kembali terasa panas. Mengingatkanku pada perlakuan Cakka padaku selama kita pacaran.
“Lo kenapa ke sini? Sambil nangis lagi. Putus sama pacar lo?” tanya Gabriel cuek. Aku menatapnya tak percaya.
“Kamu kok..”
“Haha, iyalah gue tahu! Gabriel gitu!” ucapnya PD sambil menepuk dadanya bangga. Aku hanya dapat mengerucutkan bibir melihatnya. Ia mengarahkan tangannya untuk mengacak poniku pelan.
“Lo lucu ya” aku terdiam. Sungguh, perlakuannya, ucapannya, mirip.. Cakka.
Aku masih terdiam, menunduk. Berusaha menahan airmata yang siap meluncur lagi.
“Em, lo bisa cerita sama gue kok. Tapi, kalau lo mau. Kalau nggak, nggak usah nggak papa kok” aku mendongak, menatap wajahnya yang tenang, membuatku yakin untuk menceritakan masalahku padanya.
Dengan lancar serta airmata yang satu persatu membasahi pipiku, aku menceritakan semua masalahku padanya. Rasa nyaman mulai menjalar dalam tubuhku.
“Udah?” tanyanya. Aku mengangguk.
“Fy, lihat gue!” dia mengangkat daguku untuk menghadap ke arahnya.
“Lo nggak boleh terus terpuruk dengan keadaan lo saat ini. Biarin aja mantan pacar lo sama temen lo itu ngehianatin lo. Asal, lo nggak kayak mereka. Lo harus kelihatan kuat di hadapan mereka, meski lo ngerasain sakit. Kalau lo terpuruk di hadapan mereka, mereka pasti puas karena mereka ngerasa udah berhasil bikin lo sakit. Move on, Fy. Jangan biarin diri lo kayak gini terus. Gue nggak mau lihat cewek nangis di hadapan gue” jelasnya sambil menghapus lembut airmataku.
“Aku sakit banget, Gab! Kamu bisa bilang kayak gitu sama aku, karena kamu nggak pernah ngalamin apa yang aku alami saat ini. Teori itu gampang, tapi prakteknya? Nol besar!”
“Fy, lihat gue! Terserah lo mau anggap gue gimana. Tapi, paling nggak lo harus bisa buktiin ke mereka bahwa lo bisa tanpa mereka. Lo nggak terpuruk dengan perlakuan mereka ke lo. Lo harus bisa bangkit dan move on, Fy. Percaya sama gue, bahwa lo bisa” aku menunduk. Tak lama, aku mendongak dan tersenyum tulus ke arah Gabriel.
“Makasih, Gab. Aku nggak tahu harus gimana kalau nggak ada kamu. Makasih banget” senyum masih terukir di bibirku.
“Fy, boleh gue peluk lo?” entah mengapa, aku langsung mengangguk dan menghambur ke dalam pelukannya. Hangat, itulah yang kurasakan. Meski dingin menerpa kulitku.
“Gab, aku pulang dulu ya! Pasti udah di cari Mama” aku beranjak dari gubuk itu, namun tangan kokoh Gabriel menahanku.
“Please, lo tinggal di sini dulu. Sebentar aja!” aku menggeleng.
“Sorry, Gab. Ini udah sore dan hampir malem. Besok, dua hari lagi gue ke sini lagi kok! Oke!” aku mengacungkan jempol tanganku dan segera berlalu. Namun, sebelum itu, aku sempat melihat Gabriel menggeleng pelan.
30 Desember 2009
Setelah 2 hari yang lalu aku bertemu dengan Gabriel, saat ini aku ingin bertemu dengannya kembali. Aku berjalan meniti satu persatu anak tangga untuk menuju ke atas bukit. Dan aku berharap, saat ini dia juga berada di sini.
Kutolehkan kepala ke kanan dan ke kiri. Mencari sosoknya yang aku akui, sempurna dimataku. Ia tinggi, berparas tampan, berkulit sawo matang, mata yang bersinar membuatnya terlihat cerah, dan hati yang tulus.
“Pak!” ku panggil seorang pria paruh baya. Pria itu menoleh ke arahku dan langsung berjalan ke tempat dimana aku berdiri saat ini.
“Iya, dek. Kenapa?”
“Bapak pernah lihat pemuda seumuran saya nggak, Pak? Dia tinggi, kulitnya sawo matang” kulihat bapak tadi sedang berpikir.
“Kalau boleh tahu, namanya siapa ya, Dek?”
“Gabriel” jawabku mantap.
“Gabriel? Gabriel Stevent Damanik maksudnya?” aku mengangguk
“Gabriel anak pengusaha yang meninggal karena bunuh diri di danau itu?” tanya bapak tersebut sambil menunjuk danau di hadapanku. Aku terkejut.
“Mening..gal?” tanyaku terbata.
“Iya, dia meninggal 3 bulan yang lalu. Ia ditemukan terapung di danau itu oleh warga setempat. Emm, adek pacarnya?” belum sempat aku menjawab, bapak tadi langsung berbicara lagi.
“Kalau adek pacarnya, harusnya adek sadar kalau punya pacar kayak Gabriel. Dia itu baik, kaya, ganteng lagi. Kenapa adek selingkuh malah sama sahabatnya sendiri?” aku menggigit bibir bawahku kuat-kuat.
“Pak, saya temannya, bukan pacarnya. Bapak kenal Gabriel?” tanyaku lagi.
“Ooh, maaf kalau kayak gitu, Dek. Saya nggak bermaksud” aku hanya mengangguk.
“Kalau Gabriel, saya kenal betul sama dia, Dek. Dia itu sering banget ke sini. Dia sering bantu warga sini mengurus danau dan bukit ini, Dek. Dan terakhir, dia cerita ke saya, kalau pacarnya selingkuh sama sahabatnya sendiri. Dan besoknya, dia ditemukan meninggal” lagi-lagi aku terkejut dibuatnya.
“Emm, makasih kalau gitu, Pak! Saya pulang dulu. Permisi” pamitku.
“Ya ya, mari”
Aku menangis terisak, ternyata.. 2 hari yang lalu aku berbicara dengan roh tak beraga? Tuhan! Sungguh besar kuasa-Mu. Mungkin ini cara-Mu untuk menyadarkanku. Terimakasih Tuhan!
“Kalau Gabriel, saya kenal betul sama dia, Dek. Dia itu sering banget ke sini. Dia sering bantu warga sini mengurus danau dan bukit ini, Dek. Dan terakhir, dia cerita ke saya, kalau pacarnya selingkuh sama sahabatnya sendiri. Dan besoknya, dia ditemukan meninggal”
Kata-kata itu terus terngiang di kepalaku. Ternyata, Gabriel bernasip sama denganku. Berkali-kali kupanjatkan syukur pada Tuhan karena aku masih diberi akal dan tidak melakukan apa yang dilakukan Gabriel. Tapi, aku juga berterimakasih pada Gabriel karena ia telah membuatku sadar. Dan yang paling gila, aku mulai mencintainya.
Hujan telah berhenti, namun aku masih tetap di sini. Di bukit yang dulu telah mempertemukan aku dengannya. Gabriel Stevent Damanik. Satu nama yang telah membuatku mengerti arti sebuah cinta. Satu nama yang telah membuatku sadar bahwa cintaku bukan hanya untuk Cakka. Aku menengadah menghadap langit. Gabriel, semoga kamu tenang di sana, doaku selalu menyertaimu.

02 Maret 2012


Cerpen Karangan: Hach Dhini Sekarwangi

Ditulis Oleh : Unknown

Artikel Di Bawah Rinai Hujan ini ditulis oleh Unknown pada hari Senin, 03 Juni 2013 . Terimakasih atas kunjungan Anda pada blog ini. Kritik dan saran tentang Di Bawah Rinai Hujan dapat Anda sampaikan melalui kotak komentar dibawah ini.

::! ::

3 komentar :

 
Flag Counter
Add URL Pro - Search Engine Submission and Optimization Services

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.