Cerpen : Arya Al Jauhariyah
Malam ini, entah mengapa, Hamid merasakan kantuk yang teramat sangat.
Bagai semburan radiasi TV yang tiada habisnya tatkala dihidupkan. Ia
sedikit memaklumi, ia belum tidur pada siang ini. Waktunya tersita oleh
kegiatan berniaga di Madrasah, 100 meter dari rumahnya, untuk pertama
kalinya setelah sekian lama mengumpulkan segenap keberanian. Ia tak
habis pikir, sampai-sampai ia sulit mencerna pelajaran kitab Al-Riyadhul
Badi’ah dari Ustad Shalihin selepas Isya’, di malam ini. Baru saja
berlalu, gurunya mengatakan sesuatu yang membuatnya terkejut, ‘Mengapa
ada yang janggal di malam ini?’ berkata batinnya. Ada apakah gerangan?
Semenjak gurunya berkata seperti itu di Musholla, Hamid terfikirkan
teman-temannya yang tidak datang malam ini. Ia teringat akan kebingungan
yang melandanya kemarin, di waktu yang sama, ‘Mengapa mereka tidak
mendahulukan hal ini terlebih dahulu?’ bertanya batinnya. Sekarang yang
ia cemaskan adalah tentang bagaimanakah hari esok kelak, baik atau
buruk. Semua orang menginginkan yang lebih baik, bahkan yang terbaik,
untuk besok, begitu juga dengannya. Ia mencoba menenangkan diri dengan
menatap kegelapan lorong malam yang ada dihadapannya, yang sebentar lagi
akan dilaluinya.
Malam ini adalah malam yang pekat nan lekat. Purnama telah menjauh ke
barat, menunggu giliran untuk kembali berevolusi ke timur, lalu ke
barat lagi. Hamid menatap ke angkasa, gelap dan menakutkan. Ia hanya
melihat segelintir bintang-bintang kecil yang berkelap-kelip seakan-akan
memanggilnya untuk mendekat dan memetik, khayalannya berkata. Lorong
ini terasa menakutkan andai ia tak dapat mengendalikan diri,
mengendalikan hati, yang ia lihat seakan-akan hanyalah sebuah hamparan
bumi berwarna hitam berisi benda-benda mistik kuno, keramat dan
mengandung kekuatan gaib. Ia mencoba mengingat Tuhan tatkala berada
dalam situasi demikian.
Setiba dirumah, seperti biasa, Hamid mengucapkan salam dan menyium
kedua tangan orang tuanya. Lantas, langsung ia santap menu makan malam
yang tersisa dari orang tuanya. Ia lapar malam ini. Ia menyantapnya
sembari menonton sebuah acara di TV. Seperti biasa juga, terlontarlah
pembicaraan-pembicaraan yang kadangkala penting, kadangkala tidak, namun
sudah bak rutinitas tetap di setiap malam. Pembicaraan itu terkadang
memunculkan canda dan tawa diantara keluarga kecil ini, mencairkan
suasana malam yang sedang berkelana menuju pekatnya waktu. Tak lupa,
candaan itu biasanya diselipi nilai-nilai moral disetiap untaian
jedanya. Candaan itu pula sering kali melibatkan si kecil nan lucu, yang
tak kalah pintarnya dalam mencairkan bekunya hati sang malam.
Namun entah mengapa, suasana tiba-tiba berubah aneh. Sesaat
sebelumnya, semuanya berubah mendingin dan kaku. Urat-urat leher dari
kedua orang tersayang dihadapan Hamid tiba-tiba menegang dan memekikkan
kata-kata yang tidak mencerminkan sebuah hubungan harmonis. Hamid
mencoba mencari sandaran batin untuk menenangkan keadaan hatinya yang
sedang mengalami keterkejutan. Ia juga mencoba dengan secepat kilat,
untuk menggunakan ‘ilmu’ angannya untuk mencari tahu apa yang sebenarnya
mereka debatkan.
Lagi-lagi angannya bekerja. Ia menerawang jauh ke depan tentang
sebuah masa depan yang entah bagaimana jadinya. Ia membayangkan
seandainya besok benar-benar terjadi, tentu ia tak akan kuasa menahan
beban ini, laksana gempuran peluru pilu yang siap menghancurkan tubuhnya
menjadi berkeping-keping. Ia pula membayangkan akan menjadi seperti
apakah nanti dirinya esok lusa. Apakah seorang pahlawan ataukah
pecundang sejati. Ia bukan Tuhan, Sang Pembuat Keputusan Yang Maha Adil.
Ia bak berkaca-kaca saat menghadapi peristiwa yang baru pertama ia
saksikan dengan mata kepalanya sendiri dan ia dengar dengan telinganya
sendiri.
Ia yang sedang makan, tak kuasa melanjutkannya seperti keadaan
semula. Sontak, tubuhnya bergetar merinding bagaikan dirasuki udara yang
maha dingin. Rasanya, ia tak kuat menahan beban benda berkeramik yang
berada diatas tangannya. ‘Mengapa jadi begini?’ jerit batinnya. Adiknya,
yang masih berumur 2 tahunan, mengatakan sesuatu yang membuatnya pilu,
seakan-akan ia sedang mengatakan hal yang sama dengan Hamid.
“Vina, disini saja ya. Nanti kakak pangku.”
Ia mencoba menenangkan sang adik dengan berusaha memangkunya. Namun,
ia tak bisa membuat adiknya berdiam diri dalam pangkuannya. Sang adik
meronta, dan terus meronta, sembari menanyakan pertanyaan yang sungguh
membuat pilu sang kakak, kendati sang adik belum bisa berbicara dengan
sempurna.
“Ada apa Ayah? Ada apa? Ayah mau kemana?”
Hati Hamid semakin pilu mendengarnya. Ia coba menenangkan dirinya,
dan adiknya, walaupun ia tahu bahwa tubuhnya masih menggigil tatkala
mendengar kata-kata yang terlontar dari kedua orang tersayang, terdekat,
dihadapan mereka. ‘Ya Allah, ada apa ini?’ jerit batinnya kembali. Ia
tak pernah menyangka bahwa hal yang sangat ditakutinya tiba-tiba justru
harus ia saksikan sendiri, hanya berjarak beberapa jengkal saja dari
kedua mata dan telinganya.
Makanan yang disantapnya saat itu, terasa hambar dalam sekejap. Ia
tak mengecap lagi lezatnya hidangan yang ada dihadapannya. Perhatian,
perasaan dan fikirannya kini hanya terpusat pada peristiwa mendadak yang
dihadapinya, meskipun ia masih menyentuh piring dan sendok yang
dibawanya dari dapur. Tak pelak, ia sungguh menginginkan semua ini
berakhir dan suasana rumah, khususnya ruang tempat mereka berada,
kembali normal sedia kala.
Ia pun teringat apa yang dikatakan ibunya dua hari yang lalu, bahwa
sesungguhnya ada salah seorang diluar sana yang ingin menghancurkan
keluarga mereka. Hamid terkejut bukan main. Menurutnya, sungguh bejat
orang itu! Ia mencoba menyembunyikan semua perasaannya saat itu,
khawatir ibunya akan mengetahuinya. Ketika Hamid bertanya siapakah itu,
sang ibu justru tidak memberitahunya. Ini sangat merisaukan Hamid.
Disaat ia ingin mengetahui akar dari permasalahan genting ini, ia justru
harus berhadapan dengan jawaban yang mengganjal hatinnya. ‘Kamu tidak
perlu tahu, cukup dijadikan pelajaran saja untuk esokmu’ ujar ibunya,
dua hari yang lalu.
Hamid bertanya-tanya, mengapa ibunya harus merahasiakannya. ‘Apakah
karena aku masih terlalu dini untuk tahu tentang hal demikian?’ tanya
batinnya. Usianya memang baru menginjak 16 tahun, namun cara berfikirnya
sudah bagaikan orang dewasa saja. Ia tak seperti remaja seusianya, yang
ketika ditimpa hal yang berhubungan dengan keuangan di sekolah dan
menimbulkan masalah, mereka akan memberitahukannya kepada orang tua
mereka. Tapi berbeda dengan Hamid, ia memang memberitahukannya, namun
selalu disertai dengan pemikiran dan pencarian jalan keluar atas suatu
permasalahan yang seharusnya mutlak menjadi tanggungan orang tuanya. Ia
memang berbeda dari remaja pada umumnya.
“Kalau seperti itu, aku saja yang pulang!”
“Baik. Kapan mau pulang? Besok? Bisa!!!”
BRUKKK!!! Terdengar suara pintu kamar terbanting hebat! Yang mana
semakin memperkeruh suasana ruangan tersebut, dan tak lupa juga suasana
hati Hamid. Perasaannya kian berkecamuk. Ia kembali teringat peristiwa
curhatan beberapa hari yang lalu. Saat itu dipagi buta, sang ibu
tiba-tiba mengajaknya berbicara serius, entah tentang apakah itu. Sang
ibu mengungkapkan apa yang selama ini ia pendam beberapa hari belakangan
kepada Hamid. Ia tak kuat menahan linangan air mata dipipinya. Hamid
hanya terdiam, membisu dan tak berani mengucapkan sepatah kata pun
dihadapan ibunya yang sedang menangis tersedu-sedu. Barangkali ia takut
akan menyakiti hati ibunya, atau mengingatkannya pada sesuatu yang
membuatnya kembali berkaca-kaca.
Sesungguhnya Hamid sudah menangkap hal ganjil mengenai apa yang orang
tuanya debatkan malam ini, dan tentang curahan hati sang ibu beberapa
hari lalu, namun ia tak berani bertanya kepada orang tuanya, sungguh
tidak berani. Ia takut, andaikan ia bertanya, yang akan ia dapatkan
mungkin hanyalah sebuah kata-kata hardikan dan hentakan keras nan kasar
dari orang tuanya, khususnya ayahnya, seperti saat dulu kala. Ia memang
tidak pernah mendapatkan tamparan dan pukulan dari mereka, namun ia
sangat peka terhadap kata-kata yang diucapkan mereka. Kata-kata bagi
Hamid adalah cukup untuk mengungkapkan sebuah perasaan, tanpa harus
disertai sebuah tindakan nyata secara fisik.
Satu yang diberitahu ibunya saat itu yaitu bahwa sang ayah
sesungguhnya sedang terkena penyakit impoten dan sedang mencari jalan
kesembuhan ke segala tempat. Sang ibu juga menitip pesan untuk tidak
membicarakan hal ini kepada sang ayah, dikhawatirkan ia akan malu. Hamid
menangkap hal ganjil kembali. Menurutnya itu merupakan hal yang wajar,
tetapi sungguh merupakan sebuah keanehan tatkala melihat raut muka
ibunya yang sangat tertekan dan terpuruk. Ia mencoba mengartikan ini
semua, kesimpulannya berkata bahwa masalah ini lebih dari itu, lebih
dari sekedar ayah yang terkena impoten, lebih dari itu, ada sesuatu yang
lebih besar mengintai dibalik kata-kata sang ibu. Hamid terus mencoba
mencari tahu apakah itu.
Hamid memakluminya. Orang tua memang tidak pernah mau jika anaknya
mengetahui permasalahan yang mereka hadapi. Mereka juga tidak mau
mengungkapkan curahan hati mereka, yang mereka takuti, akan membebani
pikiran anaknya. Mereka hanya menginginkan setiap anaknya untuk bahagia
selalu, terpenuhi kebutuhannya dan sukses di masa depan. Tak bisa
diingkari, itulah keinginan setiap orang tua.
Hamid membenarkannya. Namun baginya, ini akan lebih membebankan
dirinya jika di suatu saat dimana seharusnya ia dan keluarganya
berbahagia, tetapi momen itu justru harus berubah keruh laksana awan
mendung yang datang tiba-tiba di malam yang cerah. Ia tak mau!
Menurutnya, beban orang tua adalah bebannya, masalah orang tua adalah
masalahnya. Karena ia yakin bahwa ia akan menjadi dewasa, akan
menghadapi masalah yang tak jauh berbeda dan kelak akan menggantikan
peran kedua orang tuanya, ketika mereka sudah tak mampu bergerak. Ia
merasa ia lah penerusnya, ia lah masa depan mereka. Jika suatu saat
nanti mereka terkena masalah, siapa yang akan menghadapinya lebih dulu?
Dirinya! Jawab batinnya, yakin.
cerita yang bagus :)
BalasHapus