Cerpen : Rahmi
Semalam aku bermimpi. Dan kuanggap itu mimpi indah. Mimpi namun terasa nyata. 7 tahun lalu, aku mengenal seorang gadis. Berwajah indo, bertubuh tinggi dan langsing bak model catwalk. Kita sama-sama menjalani masa ospek kampus. Awalnya aku tidak peduli dengan keadaan sekitar. Aku mulai bergaul dengan beberapa mahasiswa baru lainnya. Suatu hari, aku melihatmu sedang mencabuti rumput didepan kampus kita. Kamu sedang dihukum rupanya, akibat keterlambatanmu. Kemudian kamu melempara senyum kepadaku, aku membalas dengan senyum lebar jua
Tak dianya, ternyata kita sama-sama menjadi salah satu petugas P2M. sejak hari itu, kita menjadi dekat. Bahkan lebih dekat daripada lainnya. Kemana saja kita berdua. Kamu tidak akan masuk kuliah jika aku belum menampakkan batang hidung. Kekantin, ke mall, kemanapun, kita sudah tak terpisahkan. Mungkin itu dalam benak orang-orang. Bagiku, kamu tempat ku berbagi semua. Tawa, air mata, dan seluruh kisah ku dan keluargaku. Begitu juga kamu. Termasuk kisahmu yang bukan anak kandung dari ibu dan bapakmu. Tapi, aku tidak ada di sisimu saat kamu menangis, dan hampir mengalami kecelakaan.
Sebulan yang lalu, kamu menikah. Dengan pria yang kamu idam-idamkan. Aku tidak kamu undang. Jangankan demikian, mengirim sms pun, tidak lagi kamu lakukan sejak aku mengambil studi S2 keluar daerah.
Dan semalam, aku bermimpi. Bertemu dan mengobrol panjang denganmu. Dalam mimpi itu, aku dan kamu seperti dulu. Asyik bertukar cerita. Lupa pada kiri dan kanan. Tidak peduli waktu. Bahkan lupa jika sedang lapar. Kita indah bukan? Ya, kita sangat indah. Betapa hampir seluruh pihak kampus menyayangkan perpisahan kita. Sesuatu yang kita coba tanam selama 4 tahun masa kuliah kita, hancur tanpa sisa. Dan yang paling buruk. Penyebabnya sangat sulit untuk di urai. Sehingga, semua orang berpikiran. Seakan-akan kita terpisah Karena masalah pria. Karena ini, karena itu. Tapi saat itu, aku tak peduli. Sedikitpun aku tak mau dengar apa kata semua orang, agar aku mau berkomunikasi denganmu. Bahkan ketika salah seorang temanku mengatakan, aku yang egois dalam hubungan kita. Aku sakit. Merasa sakit. Mereka terlampau sedikit mengenal kita. Terlampau dangkal mengenali kamu. Terlalu cepat menarik kesimpulan dari apa yang terjadi.
Aku meninggalkan kota ini, dengan sejuta rasa. Rindu, sedih, pilu terkumpul jadi satu dalam relung hatiku. Kamu orang yang paling berharga yang aku miliki. Kamu orang yang selalu tidak sependapat denganku. Kamu orang yang selalu bisa mengambil hatiku. Dan kamu ternyata adalah orang yang paling mengerti aku. Semua itu terlambat aku sadari, hingga mimpi tadi malam menggelayut dalam malamku. Aku merindukanmu. Saat kini kamu sedang mencoba membangun rumah tangga dengan orang yang kamu cintai. Mencoba menyembuhkan diri sendiri dari jeratan masa lalu pedih tak beribu. Dan aku, tidak pernah ada di sisimu.
Bagimu, menyontek sah sah saja. Mengambil hasil karya orang itu tidak apa-apa, asal sedikit. Bagimu, sedikit melunjak tidak mengapa, sedikit menggunakan rayuan dan wajah cantikmu agar orang-orang disekitarmu terpaku, itu adalah hal yang sah. Tapi aku tidak. Aku tidak memiliki apapun selain tekad kuat. Aku tidak indah. Bersebelahan denganmu, aku pasti dikira ojekmu. Aku mulai risih dengan semua itu. Aku bosan dengan musuh-musuhmu. Aku bosan dengan tatapan takjub orang-orang kepadamu. Aku muak dengan seluruh kisahmu. Dan aku memilih pergi. Aku pun bosan dengan caramu belajar, mengerjakan tugas, ujian yang tidak pernah puas dengan jawabanmu sendiri, namun memilih jawabanku. Aku bosan yo. Tapi aku tetap sayang padamu. Mendengar kepergian bapakmu, aku pun tak bisa menahan tangis. Ingin sekali aku meluncur kekosmu, jika waktu tidak mengingatkanku pada jam malam yang ditentukan bapakku. Kita berjanji, akan membicarakan semuanya. Tapi apa, semua hilang. Kebencian kembali menggerogoti sendi-sendi hatiku. Manakala kamu pernah mengakui hasil karyaku didepan dosen kita. Tepat didepan mataku. Hanya pilu yang aku rasa. Dan aku coba simpan. Dan hanya aku yang tahu. Tak cukupkah itu yo. Bagiku itu penghinaan terbesar yang pernah aku terima. Aku tidak memiliki kelebihan fisik apa-apa. Yang aku punya hanya tekad kuat untuk belajar. Aku ingin jadi salah satu manusia cerdas yang berguna bagi orang-orang disekitarku. Sederhana bukan?.tapi kamu tidak pernah bisa membenarkan keinginanku, impianku, cita-citaku. Kita tak pernah sepaham untuk masalah ini.
3 tahun lalu. Aku memutuskan hidupku. Keputusan besar yang aku timbang sendiri. Aku dijauhi oleh sebagian besar sahabatku. Aku memilih menjaga auratku seluruhnya. Bahkan jika aku tak terhalang rasa hormat pada keluargaku, mungkin saat ini kamu hanya bisa melihat mataku yang terbuka. Setelahnya, aku menyiapkan diri untuk berangkat menuju cita-citaku selanjutnya. Aku semakin yakin dengan segala keputusanku. Air mata sering jatuh, takkala mengingat suramnya masa laluku. Pahitnya hinaan dan cercaan orang-orang karena perbuatanku sendiri. Aku kehilanganmu dan seluruh konco-konco yang aku miliki. Tapi sedikitpun tidak ada rasa penyesalan.
Aku bangga, dengan demikian. Insya Allah aku akan dapatkan dunia, karena tujuan ku akhirat. Aku merubah diriku dengan susah payah yo. Beberapa waktu lalu, sebelum kamu menikah, aku melihatmu di sebuah rumah makan dengan calon suami mu. Kamu semakin seksi, dengan kulit putih dan tubuh rampingmu. Aku dengar, sekarang kamu menempati posisi yang cukup bagus, dan melayani klien-klien khusus dengan ekonomi tingkat atas. Aku bahagia mendengar hidupmu sekarang. Tapi, yo sayang. Kamu muslim. Semoga kelak kamu pun berhijab. Karena insya allah ini jalan yang benar. Menuntun umat Muslim untuk akhirat yang lebih baik. Aku sekarang bukan apa-apa yo. Hanya mencoba meniti kehidupan. Kamu lebih hebat, kamu sudah dari dulu menyusun ritme hidupmu sekarang. Aku memutuskan untuk rehat dan bertapa, bertapa dalam hidup demi kehidupan agamaku. Sekarang, aku mencoba menjadi seorang fasilitator, untuk mahasiswa/I seperti kita dulu. Aku tidak ingin ada kebodohan seperti yang dulu kita alami. Aku tidak ingin ada kesalahan terlalu banyak pada diri mereka yang sedang mencari jati diri, dan dengan ikhlas sukarela aku ceburkan diriku ke dunia ini yo…
Hati ini insya allah tenang yo. Walau begitu banyak kisah yang aku miliki untuk aku bagi denganmu. Tapi aku tak pernah menggapaimu. Namun, biar Allah yang menyampaikan, betapa aku merindukanmu. Sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
Semalam aku bermimpi. Dan kuanggap itu mimpi indah. Mimpi namun terasa nyata. 7 tahun lalu, aku mengenal seorang gadis. Berwajah indo, bertubuh tinggi dan langsing bak model catwalk. Kita sama-sama menjalani masa ospek kampus. Awalnya aku tidak peduli dengan keadaan sekitar. Aku mulai bergaul dengan beberapa mahasiswa baru lainnya. Suatu hari, aku melihatmu sedang mencabuti rumput didepan kampus kita. Kamu sedang dihukum rupanya, akibat keterlambatanmu. Kemudian kamu melempara senyum kepadaku, aku membalas dengan senyum lebar jua
Tak dianya, ternyata kita sama-sama menjadi salah satu petugas P2M. sejak hari itu, kita menjadi dekat. Bahkan lebih dekat daripada lainnya. Kemana saja kita berdua. Kamu tidak akan masuk kuliah jika aku belum menampakkan batang hidung. Kekantin, ke mall, kemanapun, kita sudah tak terpisahkan. Mungkin itu dalam benak orang-orang. Bagiku, kamu tempat ku berbagi semua. Tawa, air mata, dan seluruh kisah ku dan keluargaku. Begitu juga kamu. Termasuk kisahmu yang bukan anak kandung dari ibu dan bapakmu. Tapi, aku tidak ada di sisimu saat kamu menangis, dan hampir mengalami kecelakaan.
Sebulan yang lalu, kamu menikah. Dengan pria yang kamu idam-idamkan. Aku tidak kamu undang. Jangankan demikian, mengirim sms pun, tidak lagi kamu lakukan sejak aku mengambil studi S2 keluar daerah.
Dan semalam, aku bermimpi. Bertemu dan mengobrol panjang denganmu. Dalam mimpi itu, aku dan kamu seperti dulu. Asyik bertukar cerita. Lupa pada kiri dan kanan. Tidak peduli waktu. Bahkan lupa jika sedang lapar. Kita indah bukan? Ya, kita sangat indah. Betapa hampir seluruh pihak kampus menyayangkan perpisahan kita. Sesuatu yang kita coba tanam selama 4 tahun masa kuliah kita, hancur tanpa sisa. Dan yang paling buruk. Penyebabnya sangat sulit untuk di urai. Sehingga, semua orang berpikiran. Seakan-akan kita terpisah Karena masalah pria. Karena ini, karena itu. Tapi saat itu, aku tak peduli. Sedikitpun aku tak mau dengar apa kata semua orang, agar aku mau berkomunikasi denganmu. Bahkan ketika salah seorang temanku mengatakan, aku yang egois dalam hubungan kita. Aku sakit. Merasa sakit. Mereka terlampau sedikit mengenal kita. Terlampau dangkal mengenali kamu. Terlalu cepat menarik kesimpulan dari apa yang terjadi.
Aku meninggalkan kota ini, dengan sejuta rasa. Rindu, sedih, pilu terkumpul jadi satu dalam relung hatiku. Kamu orang yang paling berharga yang aku miliki. Kamu orang yang selalu tidak sependapat denganku. Kamu orang yang selalu bisa mengambil hatiku. Dan kamu ternyata adalah orang yang paling mengerti aku. Semua itu terlambat aku sadari, hingga mimpi tadi malam menggelayut dalam malamku. Aku merindukanmu. Saat kini kamu sedang mencoba membangun rumah tangga dengan orang yang kamu cintai. Mencoba menyembuhkan diri sendiri dari jeratan masa lalu pedih tak beribu. Dan aku, tidak pernah ada di sisimu.
Bagimu, menyontek sah sah saja. Mengambil hasil karya orang itu tidak apa-apa, asal sedikit. Bagimu, sedikit melunjak tidak mengapa, sedikit menggunakan rayuan dan wajah cantikmu agar orang-orang disekitarmu terpaku, itu adalah hal yang sah. Tapi aku tidak. Aku tidak memiliki apapun selain tekad kuat. Aku tidak indah. Bersebelahan denganmu, aku pasti dikira ojekmu. Aku mulai risih dengan semua itu. Aku bosan dengan musuh-musuhmu. Aku bosan dengan tatapan takjub orang-orang kepadamu. Aku muak dengan seluruh kisahmu. Dan aku memilih pergi. Aku pun bosan dengan caramu belajar, mengerjakan tugas, ujian yang tidak pernah puas dengan jawabanmu sendiri, namun memilih jawabanku. Aku bosan yo. Tapi aku tetap sayang padamu. Mendengar kepergian bapakmu, aku pun tak bisa menahan tangis. Ingin sekali aku meluncur kekosmu, jika waktu tidak mengingatkanku pada jam malam yang ditentukan bapakku. Kita berjanji, akan membicarakan semuanya. Tapi apa, semua hilang. Kebencian kembali menggerogoti sendi-sendi hatiku. Manakala kamu pernah mengakui hasil karyaku didepan dosen kita. Tepat didepan mataku. Hanya pilu yang aku rasa. Dan aku coba simpan. Dan hanya aku yang tahu. Tak cukupkah itu yo. Bagiku itu penghinaan terbesar yang pernah aku terima. Aku tidak memiliki kelebihan fisik apa-apa. Yang aku punya hanya tekad kuat untuk belajar. Aku ingin jadi salah satu manusia cerdas yang berguna bagi orang-orang disekitarku. Sederhana bukan?.tapi kamu tidak pernah bisa membenarkan keinginanku, impianku, cita-citaku. Kita tak pernah sepaham untuk masalah ini.
3 tahun lalu. Aku memutuskan hidupku. Keputusan besar yang aku timbang sendiri. Aku dijauhi oleh sebagian besar sahabatku. Aku memilih menjaga auratku seluruhnya. Bahkan jika aku tak terhalang rasa hormat pada keluargaku, mungkin saat ini kamu hanya bisa melihat mataku yang terbuka. Setelahnya, aku menyiapkan diri untuk berangkat menuju cita-citaku selanjutnya. Aku semakin yakin dengan segala keputusanku. Air mata sering jatuh, takkala mengingat suramnya masa laluku. Pahitnya hinaan dan cercaan orang-orang karena perbuatanku sendiri. Aku kehilanganmu dan seluruh konco-konco yang aku miliki. Tapi sedikitpun tidak ada rasa penyesalan.
Aku bangga, dengan demikian. Insya Allah aku akan dapatkan dunia, karena tujuan ku akhirat. Aku merubah diriku dengan susah payah yo. Beberapa waktu lalu, sebelum kamu menikah, aku melihatmu di sebuah rumah makan dengan calon suami mu. Kamu semakin seksi, dengan kulit putih dan tubuh rampingmu. Aku dengar, sekarang kamu menempati posisi yang cukup bagus, dan melayani klien-klien khusus dengan ekonomi tingkat atas. Aku bahagia mendengar hidupmu sekarang. Tapi, yo sayang. Kamu muslim. Semoga kelak kamu pun berhijab. Karena insya allah ini jalan yang benar. Menuntun umat Muslim untuk akhirat yang lebih baik. Aku sekarang bukan apa-apa yo. Hanya mencoba meniti kehidupan. Kamu lebih hebat, kamu sudah dari dulu menyusun ritme hidupmu sekarang. Aku memutuskan untuk rehat dan bertapa, bertapa dalam hidup demi kehidupan agamaku. Sekarang, aku mencoba menjadi seorang fasilitator, untuk mahasiswa/I seperti kita dulu. Aku tidak ingin ada kebodohan seperti yang dulu kita alami. Aku tidak ingin ada kesalahan terlalu banyak pada diri mereka yang sedang mencari jati diri, dan dengan ikhlas sukarela aku ceburkan diriku ke dunia ini yo…
Hati ini insya allah tenang yo. Walau begitu banyak kisah yang aku miliki untuk aku bagi denganmu. Tapi aku tak pernah menggapaimu. Namun, biar Allah yang menyampaikan, betapa aku merindukanmu. Sahabat terbaik yang pernah aku miliki.
cerita tentang sahabat itu emang sangat mengharukan dan menyentuh :)
BalasHapus